Oleh: Faisal Narwawan |
Papuainside.com, Jayapura—Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua (Koalisi Masyarakat Sipil Papua) mempertanyakan dan menilai pemindahan 7 tahanan politik Papua ke Rutan Polda kalimantan Timur melanggar hukum.
Koalisi masyarakat sipil Papua selaku kuasa hukum ke tujuh tersangka tersebut mengaku terkejut dengan yang dilakukan Penyidik polda Papua pada tanggal 4 Oktober 2019 sebagaimana surat direskrimum Polda Papua Nomor : B/816/X/RES.1.24/2019/Direskrimum, tertanggal 4 Oktober 2019.
Tujuh tapol yang dipindahkan tersebut yaitu, Buctar Tabuni, Agus Kosay, Fery Kombo, Alexander Gobay, Steven Itlai, Hengki Hilapok dan Irwanus Uropmabin.
Koalisi ini menilai sikap penyidik Polda Papua tidak komunikatif soal pemindahan tersebut.
“Salah satu Penasehat Hukum ke Ditreskrimum Polda Papua namun tidak diinformasikan perihal pemindahan diatas. Hal itu dibuktikan lagi pada saat pemindahannya pada 4 Oktober 2019 ini tidak didampingi oleh Penasehat Hukum dari Koalisi,” ungkap Koalisi dalam siaran pers yang diterima, Jumat (4/10/2019) malam.
Disebutkan, kebijakan perpindahan pengadilan pemeriksaan suatu tindak pidana dari wilayah hukum pengadilan negeri satu ke wilayah hukum pengadilan negeri lain dengan alasan keadaan daerah diatur pada Pasal 85, UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Acara Pidana yang berbunyi, “Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud.
Sesuai dengan bunyi Pasal 85 KUHAP diatas, secara tegas tidak menyebutkan Institusi Kepolisian sebagai pemohon atau pengusul kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menunjuk Pengadilan Negeri lainnya. Sehingga kalau persidangan dipindahkan ke Kaltim diragukan dasar hukumnya.
“Kami juga selaku kuasa hukum Buchtar Tabuni dkk yang ditersangkakan dengan pasal makar belum mendapatkan informasi terkait status mayoritas tersangka menjadi P-21,” jelas Koalisi tersebut.
Sehingga berdasarkan status tersangka yang belum P-21 tersebut, tindakan pihak Penyidik Polda Papua diatas jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 85 KUHAP sebab belum ada pengusulan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura) atau Kepala Kejaksaan negeri Setempat (Kejaksaan Negeri Jayapura) kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk pemindahan Buchtar Tabuni dkk.
Begitu pula belum ada pengusulan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada Mentri hukum dan HAM Republik Indonesia untuk mengeluarkan penetapan atau persetujuan untuk pemindahan kepada Pengadilan Negeri lain.
Sampai pada pemindahan tersangka Buchtar Tabuni dkk tanggal 4 Oktober 2019 disebutkan, Mentri Hukum dan HAM Republik Indonesia belum menerbitkan Surat Penetapan atau Persetujuan untuk pemindahan tersebut.
Koalisi pun meminta Kapolda Papua untuk memerintahkan kepada Ditreskrimum Polda Papua untuk menghentikan Pemindahan Tempat Penahanan tersangka an Buchtar Tabuni dkk sebagai bentuk penghargaan terhadap UU nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Acara Pidana. **