Oleh: Nethy DS |
Papuainside.com, Jayapura— Pemilihak hak ulayat di Papua hanya bisa menonton pengusaha-pengusaha dari luar mengelola hasil hutan karena memiliki ijin sementara masyarakat terkendala dengan ijin SNPK (standar norma pengelolaan kayu).
‘’Kami ingin dengan kabinet yang baru ini, betul-betul memberikan perhatian kepada kami masyarakat adat di Papua pemilik hak ulayat tetapi hanya menjadi penonton kekayaan alam yang ada dikelola pihak lain sementara kami hanya melihat saja, itu milik kami tetapi ternyata kami bukan pemilik,’’ ujar Servasius Servo Tuamis Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Keerom di Jayapura, Senin (21/10).
Dijelaskan, masyarakat adat sudah berada di tanah ulayatnya secara turun temurun bahkan sebelum pemerintahan terbentuk tetapi saat masyarakat adat akan mengelola lahannya justru dibatasi dengan aturan-aturan.
Yang lebih membingungkan lagi, kata Tuamis lahan-lahan yang ada di Papua ini sudah menjadi milik perusahaan-perusahaan yang dibekingi oknum-oknum jenderal.
SNPK ini kata Robertus Urumban Ketua Aliansi Masyarakat Adat Pemilik Hutan Adat wilayah Mamberamo Tami mengatakan Menteri LH perlu mengevaluasi aturan yang diterapkan bagi masyarakat adat pemilik hak ulayat khususnya di Papua karena dengan pembatasan tersebut berdampak negative bagi kehidupan masyarakat adat. Sebaliknya jika ada evaluasi yang memberikan dampak positif bagi masyarakat adat maka mempengaruhi pula kehidupan masyarakat adat yang lebih baik.
‘’Kita butuh biaya untuk hidup, sekolahkan anak dan lainnya sementara kami dapat uang dari mana kalau untuk mengolah hasil hutan saja kami dibatasi,’’ jelasnya.
Ditegaskan jika masyarakat hidup aman dan sejahtera tidak mungkin ada pemberontakan-pemberontakan, karena kebutuhan mendasar terpenuhi. ‘’Bagaimana kita bia hidup tenang jika kebutuhan mendasar saja kita susah, kondisi-kondisi seperti ini yang memunculkan pemberontakan-pemberontakan,’’ tegasnya.
Hasil kayu yang mereka dapatkan dari perusahaan yang mengelola hutan masyarakat hanyalah kompensansi sebesar Rp 500 ribu/bulan serta pompensasi Rp 50 ribu untuk satu kubik kayu. ‘’Ini nilai yang sangat tidak manusiawi,’’ jelasnya.
Sekretaris Aliansi Masyarakat Adat Mamberamo Tami Ferdinan Okoseray berharap Presiden Joko Widodo dalam pemerintahan periode kedua ini meningkatkan perhatian ke masyarakat adat Papua. ‘’Kami hanya berharap posisi kami bukan sebagai penonton tetapi sebagai pengelola hutan kami. Harapan kami Pak Presiden memberikan perhatian lebih besar lagi ke kehidupan masyarakat adat,’’ tegasnya. **