OPINI Oleh: Steve Rick Elson Mara, S.H., M.Han (Analis Muda Indonesia)
A. Pendahuluan
Memasuki tahun 2022 rencana Pemekaran atau Daerah Otonomi Baru (DOB) di tanah
Papua mengalami eskalasi dalam pembahasan. DOB Papua ini mulai dibahas dari
kalangan ellit hingga masyarakat akar rumbut. Rencana Pemekaran ini sudah dibahas
dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.
Di kutip dari republika.co.id Pemerintah menyatakan rencana untuk melakukan
pemekaran Provinsi Papua menjadi lima wilayah administrasi. Kelima provinsi yang
diusulkan pemerintah tersebut adalah Papua Barat Daya, Papua Tengah,
Pegunungan Tengah, Papua Selatan, dan Papua Tabi Saireri.
Provinsi Papua sudah mekarkan satu Provinsi yaitu Provinsi Papua Barat yang
disahkah melalui PP No. 24 tahun 2007 dengan wilayah yang mencakup kawasan
kepala burung pulau Papua. Rencana pembentukan DOB kali ini disesuaikan dengan
wilayah adat Papua yang terbagi menjadi tujuh wilayah adat yaitu Bomberai dan
Domberai di Papua Barat serta Saireri, Tabi, Meepago, Laa Pago dan Anim Ha.
Semenjak awal pembahasan pemekaran Papua yang kemudian dituang dalam UU
No. 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua ini telah menuai banyak pro dan
kontra.
Pemekaran daerah jika diartikan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah
proses yang dilakukan untuk melebarkan suatu daerah dengan tujuan baik dalam hal
administrasi pemerintahan, yang juga akan berkaitan dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat didaerah yang belum mendapatkan pelayanan dari
pemerintah secara baik, namun jika hal tersebut mendapatkan penolakan dari
masyarakat artinya masih ada yang salah dalam prosesnya dan ini dapat menjadi
potensi konflik dimasa depan.
B. Pembahasan
1. Teori CEWERS
Model analisis yang dilakukan didalam CEWERS dimulai dengan mengetahui 5W1H
yaitu When, Where, What, Who, Why, dan How. Hal ini dilakukan untuk menganalisis
sebuah konflik agar mendapatkan jawaban bahwa perlu ada sebuah peringatan dini
terhadap potensi konflik yang diprediksi akan terjadi.
Dilihat dari fase konflik yang sedang terjadi, apakah konflik tersebut masih berpotensi
atau sudah ada dalam tahapan ketegangan, krisis, kekerasan terbatas, kekerasan
masal, dan abatemen. Selain itu, dilihat juga SAT atau Struktur, Akselerator, serta
Triger.
Selanjutnya, akan dilihat orientasi para tokoh struktural, serta bagaimana cara untuk
menyelesaiakan konflik yang ada dengan menggunakan teori penyelesaian konflik
yang ada, dan melakukan analisasi momentum dan rutin.
2. Perencanaan CEWERS, Antisipasi Konflik Pemekaran
Berbagai kepentingan yang ada di Indonesia menjadikannya sebagai salah satu
negara dengan potensi konflik yang sangat besar. Selain itu, beberapa negara lain
yang bernegara didalam kepentingan poltik juga menghadirkan banyak konflik hingga
kekuatan militer ikut dikerahkan. Akhirnya ada beberapa negara yang kehilangan
legitimasi dari kelompok masyarakatnya membuat hubungan pemerintah dan
masyarakat menjadi rentan.
Pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah memang jarang
menimbulkan konflik karena sejatinya kebijakan dibuat untuk mencegah hal buruk
terjadi. Namun ada apa dengan rencana pemekaran yang dilakukan oleh pemerintah
yang kemudian mendapat pertentangan dari kelompok masyarakat di Papua.
a. Konflik Terkini
Tergambar jelas dalam satu tahun terakhir ketika Dewan Perwakilan Rakyat RI
mengesahkan Undang-undang Otonomi khusus kemudian muncul pergerakan akar
rumput yang menentang aturan tersebut karena dianggap Otonomi Khusus yang
diberikan kepada Papua sudah gagal dalam pelaksanaanya selama 20 tahun
semenjak 2001.
Mantan Komisioner HAM Natalius Pigai menilai kebijakan Otonomi Khusus Papua
gagal mensejahterakan masyarakat Papua, misalnya berdasarkan hasil risetnya di
Badan Pusat Stastistik bahwa jumlah orang miskin di Papua terus bertambah
semenjak tahun 2001 hingga tahun 2019 dengan jumlah 26,360 orang. (dikutip dari
halaman kompas.com tayang 18/02/21)
Meskipun mendapatkan banyak penolakan dari lapisan masyarakat Papua, Otsus
tetap disahkan dan diundangkan untuk 20 tahun kedepan hingga tahun 2042. Bukan
hanya otsus yang ditentang, isu pemekaran wilayah juga mendapatkan respon dari
Kelompok Kriminal Bersenjata yang menyebutkan diri mereka sebagai Tentara
Nasional Pembebasan Papua, yaitu :
Sebby Sambom selaku juru bicara menyampaikan bahwa bagi siapa saja
pejabat yang urus pemekaran, TPN PB siap datang dan kasih lepu (leher
putus). Warning juga diberikan kepada Gubernur Papua Lukas Enembe dan
Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan serta para tokoh adat untuk
tidak mengurus pemekaran. (Gambar yang dibagikan melalui pesan
Whatsaap).
Dengan terdapatnya respon dari kelompok garis keras yang seyogiannya dapat
mempengaruhi masyarakat akar rumbut di Papua maka ini menjadi hal serius yang
harus dibahas. Selain itu, terdapat juga eskalasi konflik bersenjata didaerah Maybrat, Papua Barat.
Daerah tersebut selama ini dikenal damai namun dalam satu tahun terakhir sering
terjadi kontak tembak antara kelompok bersenjata dan militer yang juga telah
memakan korban jiwa.
Suara sumbang lainnya, muncul dari Majelis Rakyat Papua yang juga menyampaikan
menolak wacana pemekaran provinsi Papua, Ketua MRP Timotius murib
beranggapan bahwa pemekaran tidak memberikan pertolongan atau manfaat bagi
orang asli Papua. (dikutip dari cendewasihpos.com tayang pada 18/01/22).
Penolakan juga datang dari Bupati dan DPRD Dogiyai yang pada tahun 2021 lalu
sepakat menolak pemekaran Provinsi Papua Tengah, keputusan tersebut diambil
dalam rapat internal dan sudah disampaikan juga kepada Asosiasi Bupati yang
terbentuk untuk memekarkan Papua Tengah. (dikutip dari jubi.com)
Mahasiswa Papua yang tergabung dalam beberapa organisasi juga beberapa kali
melakukan aksi untuk menolak pemekaran, seperti gabungan mahasiswa asal Papua
yang mengeruduk Kemendagri untuk menolak pemekaran Papua, menurut gabungan
mahasiswa tersebut bahwa pemekaran dapat merugikan warga Papua (dikutip dari
okezone.com)
Dari hasil pengamatan, penulis menemukan beberapa fakta kenapa beberapa
kelompok di Papua menolak untuk dilaksanakannya pemekaran, yaitu :
1. Akan terjadi marjinalisasi orang Papua atau dominasi penduduk pendatang dari
luar Papua; Masyarakat Papua akan terpinggirkan;
2. Peluang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme juga akan terbuka;
3. Menghadirkan militer lebih banyak lagi Papua;
4. Terjadi konflik horizontal di Papua;
5. Terjadi penguasaan terhadap sumber daya adat yang dimiliki oleh orang asli
Papua.
Hal-hal tersebut menjadi ketakutan sebagian kelompok di Papua yang tidak ingin
Papua dimekarkan menjadi beberapa Provinsi.
Dari sisi yang berlawanan, terdapat juga kelompok yang mendukung pemekaran
untuk tetap dilakukan di Papua, diantaranya ada kelompok masyarakat Papua
Selatan dari suku Asmat yang mendukung pemekaran Papua. Ada juga beberapa
tokoh Papua lainnya seperti Hans Mote, Ondofolo Yanto Eluay yang mendukung
proses pemekaran untuk dilakukan. (dikutip dari klikwarta.com 30/10/2021).
Beberapa tokoh nasional juga ikut mendukung pemekaran Papua dilakukan seperti
politisi PAN dari Komisi II DPR RI, menurutnya pemekaran merupakan komitmen dari
pemerintah bersama DPR RI terhadap percepatan pembangunan wilayah Papua.
(dikutip dari tribunnews.com tayang 24/11/2021)
Asosiasi kepala daerah se-wilayah adat Saireri yang mendukung pelaksanaan
pemekaran. Ada juga Senator asal Papua juga ikut mendukung pemekaran wilayah
Papua, Wakil ketua I Komite I DPD RI, Filep Wamafma mendukung pemekaran Papua
dari aspek demografi Papua dan Papua Barat. (dikutip dari mediaindonesia.com
tayang 13/02/2022)
Dari kedua sisi ini menunjukan bahwa ada konflik secara tidak langsung yang terjadi
diantara masyarakat Papua. Selain itu, dalam pengamatan penulis ada mosi tidak
percaya yang dibangun oleh kelompok masyarakat kepada para kepala daerah yang
mendukung pemekaran. Mosi muncul karena para kepala daerah dianggap tidak
melakukan serap aspirasi masyarakat untuk rencana pemekaran, melainkan ada
politik kepentingan untuk merebut kekuasaan.
b. Laporan 5WIH
When? Perbedaan pandangan yang menimbulkan konflik tidak langsung ini terjadi
semenjak awal tahun 2020 ketika isu pemekaran mulai dibahas hangat seiring dengan
rencana revisi undang-undang Otsus Papua digaungkan ke permukaan. Kemudian
mulai mengalami eskalasi ketika Otsus disahkan dan hal mengenai pemekaran
diakomodir didalam revisi undang-undang Otsus.
Where? Konflik ini terjadi secara tidak langsung namun memiliki potensi untuk terjadi
secara langsung jika pemekaran terjadi. Saat ini masih sebatas adu argument di
media sosial. sedangkan potensi terjadi secara langsung adalah bentuk ancaman
yang disampaikan oleh KKB/TPNPB kepada kepala daerah atau pejabat terkait.
What? Perbedaan pandangan muncul tentang pemekaran ini menjadi salah satu
triger yang akan memicu konflik. Bukan hanya konflik tentang mekar atau tidak tetapi
opini yang muncul dari perbedaan pandangan ini juga memicu konflik bisa terjadi dari
kekerasan terbatas hingga kekerasan massal. Seperti alasan yang muncul bahwa
pemekaran dilakukan hanya untuk memobilisasi warga dari luar Papua untuk
menguasai sumber daya alam Papua, memecah kekuatan ideologi lain selain
Pancasila. Selain itu, ada ancaman yang datang kepada para kepala daerah, aspirasi
yang disampaikan tanpa konsultasi mendalam dengan masyarakat.
Who? secara umum kelompok yang menolak pemekaran adalah kelompok dengan
kepentingan politik atau kelompok pro referendum dan juga kelompok yang belum
menemukan alasan utama kenapa pemekaran dilakukan. Serta kelompok yang
mendukung pemekaran wilayah adalah Pemerintah pusat, Asosiasi kepala daerah
tujuh wilayah adat Papua, dan beberapa kelompok mahasiswa serta organisasi
kepemudaan.
Why? Tindakan dilakukan dengan kata-kata secara online maupun ofline, dan
ditujukan secara langsung kepada oknum atau kelompok yang dilabel mendukung
atau menolak pemekaran. Tindakan ini dapat memicu terjadinya kekerasan atau
konflik fisik.
How? Konflik ini kemudian tidak hanya terjadi melalui omongan kata-kata, tetapi
akibat dari konflik ini kemudian membahayakan nyawa orang lain yang tidak terlibat
secara langsung. Seperti ancaman yang datang kepada kepala daerah dari
KKB/TPNPB.
c. Fase Konflik
Dalam tahapan konflik akibat perbedaan kepentingan pemekaran wilayah ini sudah
ada dalam tahapan adu argument. Selisih pendapat 80% terjadi melalui media sosial
seperti di Whatsaap, Facebook, Instagram, dan Telegram. Sedangkan 20% lainnya
terjadi didalam diskusi-diskusi yang dilakukan secara langsung antara stake holder
dan masyarakat kelompok kepentingan.
Perbedaan persepsi ini mengalami eskalasi akibat demostrasi yang dilakukan oleh
kelompok mahasiswa dan pemuda dengan tujuan menolak pemekaran. Demonstrasi
ini juga telah membuka ruang untuk dikaitkannya masalah konflik pemekaran dengan
isu Papua Merdeka. Serta ancaman-ancaman yang muncul dari kelompok pro
referendum kepada kepala daerah.
Demikian fase ini dapat menunjukan bahwa konflik kekerasan terbatas bahkan
kekerasan masal sangat mungkin terjadi baik sebelum maupun pasca pemekaran
dilakukan.
d. SAT (Struktur, Akselerator, Triggers)
Struktur? Perbedaan tingkat pendidikan, agama, daerah tempat tinggal, juga
mempengaruhi perbedaan perspektif. Selain itu, pengambilan keputusan kadang tidak
sesuai dengan permintaan masyarakat secara umum. Perbedaan tersebut kemudian
meluas, disebarkan melalui media sosial yang menjadi angin panas yang
menyuburkan api konflik.
Akselerator? Yang menjadi akselerator dalam konflik rencana Pemekaran adalah
media pemberitaan (baca : framming media) dan media sosial. Berperan sebagai
angin panas yang meniup api konflik, sehingga kobaran api semakin besar. Saat ini,
setiap orang bisa menjadi pembuat dan penerima berita sehingga dengan sangat
mudah informasi panas tentang pro dan kontra pemekaran provinsi dapat tersebar.
Triggers? Kelompok US VS THEM akan terbentuk, baik secara nasional maupun
akan terbentuk didaerah-daerah. Kelompok ini terbentuk kemudian menggunakan visi
mereka untuk melihat kelompok lain, sehingga kelompok lain akan dipandang sebagai
kelompok yang salah.
Jika sudah terbentuk kelompok US VS THEM maka konflik harus segera diantisipasi,
harus dilihat titik mana yang harus diperbaiki, agar tidak terjadi benturan yang
kemudian menciptakan kekerasan masal.
e. Conflict Early Warning and Early Response
Berdasarkan penjalasan di atas maka beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai
tanggap dini adalah :
1) Pemerintah perlu melakukan rapat dengar pendapat dengan masyarakat asli
tentang tanggapan pemekaran;
2) Untuk menyerap aspirasi masyarakat dari 7 wilayah adat, pemerintah bersama
DPR dan MRP menfasilitasi masyarakat adat untuk mengadakan rapat budaya
(internal masyarakat) untuk mengetahui suara dari akar rumput;
3) Aspirasi tersebut kemudian didiskusikan dan didialogkan lagi dengan
masyarakat dan masuk dalam tahapan tindaklanjut;
4) Kajian mendalam perlu dilakukan oleh akademisi orang asli Papua maupun
Lembaga akademik lainnya tentang hal positif dan negatif pasca pemekaran
dilakukan dan hasilnya harus disampaikan secara terbuka kepada masyarakat;
5) Konsultasi pemerintah daerah/ kepala daaerah/ asosiasi kepala daerah harus
dilakukan secara terbuka agar tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat
kepada pemerintah;
6) Pembentukan Timsus DPR RI harus dilakukan untuk menganalisi setiap
tindakan yang diambil agar tidak merugikan negara dimasa mendatang;
7) Antisipasi ancaman KKB/TPNPB kepada kepala daerah maka perlu dilakukan
pengamanan tambahan dalam setiap pembahasan pemekaran dan kepada
setiap kepala daerah di Papua;
8) Indonesia merupakan Negara Open Sky Policy (OSP) atau dalam artian segala
informasi dari manapun diijinkan masuk ke dalam handphone dan keluar dari
handphone kita, sehingga edukasi digital skill, digital culture, digital ethic, dan
digital safety untuk masyarakat harus dimasifkan agar masyarakat tidak mudah
terkena imbas dari berita bohong hoax;
9) Adu argument akibat rencana pemekaran ini memasuki tahapan saling salahmenyalahkan artinya pola yang digunakan untuk persiapan pemekaran harus
dirubah untuk menekan eskalasi konflik;
10)Konflik yang terjadi di Papua akan selalu digiring kearah Politik sehingga
segala tindakan yang diambil perlu dijaga agar tidak muncul collateral damage
(dampak ikutan). Seperti rencana pemekaran tanpa persiapan dan konsultasi
publik yang matang dengan masyarakat lokal akhirnya berbuntut pada tuntutan
kemerdekaan dari kelompok tertentu;
11)Pemerintah perlu memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa saat ini
sedang terjadi perang kognitif, yaitu perang yang dilakukan dengan cara
merusak mindset kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga rasa
nasionalisme dan jiwa patriotisme masyarakat akan berkurang jika masyarakat
tidak memiliki manajemen kritis untuk mengelola dan melakukan perbandingan
atas setiap informasi yang didapatkan.
C. Penutup
Pemerintah perlu memiliki peringatan dini untuk merespon dan mengantisipasi setiap
tindakan yang mungkin saja akan menjadi sebuah konflik yang mengganggu
keamanan nasional Indonesia. Seperti halnya 11 poin yang telah sampaikan oleh
penulis sebagai upaya peringatan dini dan tanggap respon dalam mencegah konflik
rencana dan pasca pemekaran di Papua, pemerintah perlu untuk terus membangun
kepercayaan di antara masyarakat bahwa INDONESIA ITU MILIK BERSAMA dan
harus di jaga. **