Oleh: Peter Tukan*
Persiapan terbentuknya Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Papua Selatan lepas dari induknya yaitu Provinsi Papua terus diperjuangkan melalui berbagai perundingan tanpa pernah mengenal kata “Berhenti”, baik itu dilakukan oleh dan melalui masyarakat akar rumput, para tokoh masyarakat, pemangku adat, politisi di lembaga eksekutif (pemerintah pusat dan daerah) dan lembaga legislatif (DPR RI, DPRD Kabupaten dan DPR Papua), para Senator DPD RI, Lembaga kultural Orang Asli Papua yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP) maupun para pemuda dan perempuan.
Menurut rencana, Kamis (11/12), delegasi berbagai komponen masyarakat dan pemerintah kabupaten di wilayah Papua Selatan yakni Kabupaten Merauke, Asmat, Boven Digul dan Kabupaten Mapi (wilayah adat Anim Ha) — yang saat ini sudah berada di Jakarta — bertemu untuk berunding dengan para wakil rakyat di DPR RI. Dari lembaga legislatif itu, delegasi ini berencana melanjutkan perundingan dengan pihak eksekutif Pemerintah Pusat seperti Menteri Dalam Negeri dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya agar aspirasi pembentukan DOB Provinsi Papua Selatan itu insya Allah dapat terwujud di bulan-bulan pertama awal tahun 2020 yang sudah di ambang pintu.
Dari pertemuan dan perundingan itu, diharapkan agar semua komponen yang dijumpai dapat bahu-membahu, bergotong royong – berjalan bersama menuju lahirnya DOB bernama Provinsi Papua Selatan. Hal yang sama, tentu saja sedang dilakukan juga oleh berbagai komponen masyarakat dan pemerintah kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Papua yang berasal dari wilayah adat Tabi dan Saireri, wilayah adat Lapago serta dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah daerah dari wilayah adat Meepago.
Terkait wilayah administratif DOB tersebut, sepertinya akan disesuaikan dengan pembagian wilayah adat yang telah dibuat para antropolog kenamaan pada zaman Hindia Belanda, dimana Papua Selatan masuk dalam Afdeling Zuid-Nieuw-Guinea dengan ibukota Merauke. Wilayah ini dibagi lagi atas Onderafdeling Merauke dengan ibukota Merauke, Mapi dengan ibukota Kepi, Boven-Digul beribukota di Tanah Merah, Asmat beribukota di Agats dan Onderafdeling Muyu dengan ibukota Mindiptana.
Jika dilihat dengan mata telanjang, semangat yang berkobar-kobar dan tekad perjuangan untuk melahirkan DOB Provnsi Papua Selatan tidak terbendung lagi. Hal ini merupakan sebuah badai perubahan yang sangat dahsyat di penghujung tahun 2019 atau menyongsong gerbang tahun 2020 yang penuh janji, harapan dan tantangan.
“Aspirasi melahirkan Provinsi Papua Selatan merupakan sebuah perubahan sangat besar. Perubahan itu bagaikan hempasan gelombang dan badai selatan sangat dahsyat, yang tidak akan mungkin dapat dihentikan atau dihaling-halangi. Apabila kita berupaya mengentikan atau menghalangi hantaman badai selatan itu, maka kita sendirilah yang terpental dan terkapar di tengah badai itu sendiri. Hal yang dapat kita lakukan di tengah hempasan gelombang dan badai perubahan adalah turut berubah di dalam gelombang dan badai perubahan itu sendiri. Zaman berubah dan kita pun turut berubah di dalamnya,” kata Tokoh Besar masyarakat adat Anim Ha, John Gluba Gebze di Merauke (27/11).
Kecemasan dalam perubahan
Tidak dapat kita pungkiri bahwa gelombang dan badai aspirasi, tekad dan perjuangan untuk membentuk dan melahirkan “bayi” Provinsi Papua Selatan dari induknya Provinsi Papua adalah sebuah perubahan besar. Perubahan ini pun telah melahirkan gelombang kecemasan dan ketakutan akan dampak krusial dari perubahan itu sendiri. Kiranya, rasa takut dan cemas ini dipahami secara positif dan dipandangdengan jiwa penuh optimisme sekaligus dikelola secara arif – penuh hikmat kebijaksanaan. Di dalam situasi kecemasan dan ketakutan itu, pasti akan muncul secercah sinar harapan di penghujung lorong yang gelap itu.
Sejarah mencatat dengan tinta emas bahwa berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999, lahirlah “bayi” Provinsi Irian Jaya Barat dari induknya Provinsi Papua. Dan berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 18 April 2007, Provinsi Irian Jaya Barat diberi nama baru menjadi Provinsi Papua Barat.
Ketika “bayi” DOB Provinsi Irian Jaya Barat lahir, kebanyakan dari kita menerimanya bagaikan “anak haram” – artinya anak yang lahir dari rahim seorang ibu — yang juga telah melahirkan kita,– namun kelahirannya itu justru tidak dikehendaki. Walaupun tidak dikehendaki tetapi akhirnya bayi ini lahir juga. Bagaimanapun juga dia (baca: Provinsi Irian Jaya Barat) adalah saudara sekandung kita!
“Anak haram” ini, dalam perjalanan hidup selanjutnya, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, marah atau tidak marah, senang atau tidak senang, mau atau tidak mau, harus kita menerimanya dengan lapang dada lantaran dia telah lahir dari kandungan seorang ibu yang juga melahirkaan kita. Bagaimana pun juga “anak haram” ini sudah berada di depan mata hati kita, dia hidup di tengah dan bersama kita, dia adalah saudara kandung yang lahir dari kandungan ibu Provinsi Papua dan dia kini dia terus beranjak dewasa menjadi saudara dan tetangga terdekat kita, yang tidak mungkin dipisahkan dan memisahkan diri dari induk semangnya. Batas antara kita (Provinsi Papua) dengan dia (Provinsi Papua Barat) adalah batas yang artificial. Itulah Perubahan!
Kembali kepada proses menuju pembentukan DOB Provinsi Papua Selatan, akhirnya nanti, kita akan tiba pada hari lahirnya “bayi” provinsi baru ini, entah kapan pastinya dia akan lahir. Kini kita sedang berada dalam masa penantian yang penuh harapan dan kecemasan, penuh tantangan dan peluang. Kita sedang mempersiapkan diri menyambut kelahirannya. Berbagai perundingan yang kita lakukan adalah bagian dari persiapan lahirnya bayi Provinsi Papua Selatan.
Sambil mencermati dinamika perpolitikan provinsi induk Papua dan belajar dari sejarah lahirnya saudara dan tetangga kita Provinsi Papua Barat (Irian Jaya Barat), maka kiranya sebelum Provinsi Papua Selatan lahir ke tengah-tengah kita dan menjadi tetangga terdekat dengan Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan DOB provinsi-provinsi lainnya yang menyusul terbentuk di Tanah Papua, maka seluruh komponen masyarakat Papua Selatan harus mampu melakukan perundingan dengan Pemerintah Pusat dan DPR RI sedemikian rupa, sehingga pembentukan DOB Provinsi Papua Selatan nanti tidak sampai merugikan secara fatal kepentingan dan masa` depan Orang Asli Papua di Selatan Papua (dan juga Orang Asli Papua secara keseluruhan) yang hidup hari ini dan pada masa yang akan datang.
Apabila, kita mengetahui bahwa pembentukan DOB di Papua, bukan hanya karena aspirasi dari masyarakat Papua sendiri (demi kesejahteraan hidup dan perdamaian abadi seluruh rakyat) tetapi juga termasuk bagian dari strategi pembangunan nasional (kepentingan nasional antara lain agar Tanah Papua tetap berada di pangkuan ibu pertiwi Negara Kesatuan republik Indonesia) maka, dalam melakukan perundingan (terutama dengan DPR RI dan Pemerintah Pusat), posisi tawar masyarakat Asli Papua dan pemerintah daerah di Tanah Papua harus dapat diperhitungkan dan disegani oleh semua pihak.
Camkanlah bahwa, kita memang sedang dilanda arus deras dan badai perubahan itu namun kita sendiri pun tidak boleh terhempas dan hanyut di dalam arus dan badai perubahan itu sendiri. Di dalam situasi perubahan ini, kita harus dapat mengikuti arus dan badai perubahan sambil bersama-sama ikut mengatur arah arus dan badai perubahan itu sendiri.
Kata orang bijak, kita tidak boleh melawan arus. Kita harus berupaya masuk ke dalam arus itu, ikut dibawa arus namun sambil dibawa oleh arus, kita harus mampu mengatur arah arus! Kita memang harus turut berubaha bdi dalam badai perubahan itu namun kita dituntut untuk sambil turut serta dalam perubahan itu, kita harus dapat mengatur jalannya perubahan itu. Kita jangan begitu saja masuk di dalam badai dan bersikap pasif terhadap perubahan tersebut.
Semua Orang Asli Papua akan mengalami kerugian sangat fatal apabila mereka masuk ke dalam perubahan, mengikuti perubahan itu namun tidak mampu mengatur arah perubahan tersebut.
Mengatur arah perubahan
Lima Uskup Gereja Katolik di Tanah Papua dari Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Agats, Keuskupan Timika dan Keuskupan Manokwari-Sorong telah jauh-jauh hari – setelah mencermati realitas kehidupan di Tanah Papua – memberikan semacam “peringatan antisipatif” dan nasehat bijak demi kebaikan, kesejahteraan, perdamaian abadi dan keberlangsungan hidup masyarakat Papua, khususnya Orang Asli Papua di atas tanah warisan leluhurnya ini. Peringatan antisipatif ini merupakan bagian dari “mengatur arah perubahan” itu sendiri.
Pada pertemuan khusus di Jayapura (8/8/2018), para Uskup Gereja Katolik di Tanah Papua mengeluarkan sebuah dokumen sangat penting untuk keberlanjutan hidup Orang Asli Papua – sembari tidak mengabaikan warga masyarakat lainnya.
Dokumen penting ini kiranya dapat dijadikan “pegangan” ketika semua komponen masyarakat di Papua Selatan berunding, melakukan tawar menawar politik dengan DPR RI dan Pemerintah Pusat. Sebaiknya, sebelum melahirkan DOB Provinsi Papua Selatan, hal-hal penting dan krusial yang antara lain tercantum di dalam dokumen ini dibicarakan, dirundingkan dan disepakati bersama. Jangan menunda untuk merundingkan hal-hal penting ini karena belum tentu, setelah terbentuknya Provinsi Papua Selatan, peringatan antisipatif ini dirundingkan dan dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Bagaimanapun juga, peringatan antisipatif ini dapat dijadikan pedoman arah dalam membuat posisi tawar para perunding dari Papua Selatan menjadi lebih penting dan sangat diperhitungkan di tingkat Pusat!
Patut dicamkan bahwa pembentukan Provinsi Papua Selatan akan terus menerus bersentuhan dengan masalah kependudukan. Untuk hal ini para Uskup di Tanah Papua menulis : “Kita berharap agar masalah kependudukan pun diatur dengan memperhatikan status otonomi khusus Papua dan hak-hak orang asli Papua yang mayoritas beragama kristiani. Kenyataan bahwa orang-orang yang bermigrasi dari luar Papua kebanyakan datang dari daerah-daerah yang mayoritas muslim menimbulkan perasaan dan kekuatiran seakan-akan Papua sedang dilanda arus islamisasi. Maka penataan kependudukan dan perlindungan hak-hak orang asli Papua seperti ditetapkan dalam UU OTSUS perlu dilaksanakan dengan peraturan yang pasti dan jelas, karena masalah kependudukan itu gampang memicu konflik dan merusak kerukunan umat beragama.
Dalam hal kependudukan, UU OTSUS mewajibkan Pemerintah untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk (Ps 61:1). Pokok ini perlu ditangani dengan serius karena berdampak langsung pada perlindungan serta penghormatan hak-hak dasar penduduk asli seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang itu.
Migrasi penduduk yang masuk ke Papua amat besar dan tidak terkendali. Marginalisasi dan kesenjangan ekonomi menjadi makin besar. Juga migrasi dari pegunungan dan pedalaman ke kota menciptakan masalah yang sama. Orang yang dari pedalaman ke kota tidak mendapat peluang untuk memperoleh pekerjaan dan tempat tinggal.
Mereka menjadi orang pinggiran, tersingkir dari sentra kegiatan ekonomi dengan segala konsekuensi buruk. Di mana ada sentra pemukiman yang berkembang, penduduk asli tersingkir dari jalan-jalan utama dan menyingkir makin jauh ke dalam hutan. Banyak yang dengan mudah melepaskan hak atas tanah untuk memperoleh pendapatan sesaat, tetapi kehilangan “ibu” yang menyuap dan menopang hidup mereka.
Para Uskup pun mengingatkan bahwa penambahan penduduk dalam jumlah besar dari luar Papua menciptakan persaingan yang tidak seimbang dalam mencari lapangan kerja. Orang asli Papua kalah bersaing. Banyak lapangan kerja, lebih-lebih di sektor informal, dikuasai para pendatang. Bagaimana mengatasi kepincangan itu?
Tentu saja tidak pada tempatnya hanya mengejek dan menggerutu bahwa mereka itu malas, bodoh, terbelakang dan berbagai stigma lainnya. Hal yang mereka butuhkan adalah perlindungan yang nyata dan dukungan yang tegas dari penyelenggara pemerintahan. Karena justru dalam sektor informal itu, yang bisa ditangani orang setempat, paling dirasakan persaingan yang tidak seimbang.
Maka para Uskup meminta agar dalam usaha-usaha di sektor informal itu, para pendatang dibatasi dan masyarakat setempat dilatih untuk bergiat di sektor-sektor itu. Wilayah pertambangan rakyat yang ada misalnya di Kabupaten Nabire, Senggi, Mimika, Asmat dan Korowai serta pendulangan “tailing” Freeport, perlu diatur untuk menjamin hak atas mata pencaharian bagi masyarakat setempat. Demikian juga pelayanan umum dengan “angkot dan ojek” di pinggiran kota dan pedalaman, usaha kios, cukur rambut, bengkel dan lain-lainnya, pasti bisa dijadikan bidang “monopoli” bagi masyarakat setempat. Pemerintah Daerah kami minta agar mengatur hal itu, seperti diamanatkan UU OTSUS (pasal 38:2).
Dengan dikeluarkannya Undang-undang R.I. No.21 Tahun 2001, Papua memperoleh status “Otonomi Khusus”. Dengan berjalannya waktu, ada sejumlah hal yang perlu diperbarui untuk menanggapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam tata pemerintahan dan dalam penanganan berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan masyarakat.
Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Papua memberikan kewenangan yang lebih luas disertai tanggung jawab yang besar untuk mengatur dan mengurus diri sendiri. Pokok-pokok sentral yang mau diperbaiki dan dibangun adalah: bidang penyelenggaraan pemerintahan, pemanfaatan kekayaan alam untuk kesejahteraan masyarakat asli, pemberdayaan/peningkatan kemampuan orang asli Papua dalam hal ekonomi, sosial dan budaya, pengakuan atas hak-hak dasar serta penyelesaian masalah pelanggaran dan perlindungan HAM, pemenuhan rasa keadilan.
Selain itu, berkenaan dengan perusahaan sawit dan investasi lainnya, para Uskup meminta agar hak masyarakat lokal atas tanah dilindungi dan dijaga.
“Untuk itu Pemerintah Daerah hendaknya meninjau kembali dan menegaskan kesepakatan tentang sewa-menyewa atau kepemilikan atas tanah. Kesepakatan itu harus mencakup tanggung jawab perusahaan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, penetapan harga kayu gelondongan yang lebih tinggi, rehabilitasi dan pemeliharaan lingkungan hidup serta keutuhan alam ciptaan” tulis para Uskup Gereja Katolik di Tanah Papua.
Menghadapi badai dan hempasan arus perubahan sangat besar di Tanah Papua, yang tampak antara lain melalui pembentukan DOB Provinsi Papua Selatan, maka dibutuhkan kecerdasan dan kearifan dalam ikut mengatur arah arus perubahan itu sendiri. Orang Asli Papua tidak boleh menjadi penonton pasif di tengah hempasan badai dan arus perubahan di tanah kelahirannya sendiri!
Keputusan yang diambil hari ini di Jakarta akan sangat menentukan dan mempengaruhi eksistensi dan keberlangsungan hidup dan kehidupan semua Orang Asli Papua, kapanpun dan dimanapun mereka berada,***
*Peter Tukan: Wartawan (1983-2010)
*OPINI ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi PAPUAinside.com