Oleh: Peter Tukan *
KETIKA membaca tulisan wartawan Reuters, Tom Allard dan Jack Stubbs di bawah judul “TNI ada di balik situs propaganda Pemerintah Indonesia” (www.abc.net.au/indonesia/2020) dengan serta merta nuraniku tergerak untuk menumpahkan sepenggal pengetahuan dan pengalaman amat sederhana dikala masih bekerja sebagai seorang jurnalis aktif (1980-2010) di daerah konflik yang suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, pasti berjumpa dan bergaul dengan aparat keamanan khususnya TNI/Polri, juga meliput kegiatan polisi dan tentara serta berbagai kegiatan lainnya yang disponsori (didukung) oleh dua institusi keamanan Republik Indonesia ini.
Patut dicamkan baik-baik, bahwa salah satu “kegagalan” kerja aparat keamanan (TNI-Polri) di wilayah konflik Timor Timur (kini: Timor Leste) — dapat di bilang antara tahun 1979-1999 — adalah mereka (institusi TNI/Polri) tidak benar-benar sekaligus sangat lamban memanfaatkan media untuk menyukseskan program kerja TNI/Polri (di dalamnya adalah program pembangunan nasional) demi terciptanya kehidupan bersama yang aman, damai, demokratis, adil dan sejahtera yang merupakan dambaan seluruh rakyat Timor Timur (tanpa membedakan suku,agama,ras, golonga, kelompok politik) di wilayah konflik itu.
Padahal, kalau mau jujur, sebenarnya TNI/Polri sendiri mengetahui, bahwa Alvin Toffler – seorang ahli masa depan (futurolog) telah membagi peradaban dunia menjadi tiga gelombang peradaban, selain peradaban pertanian, dan industri juga peradaban informasi dimana kemajuan teknologi komunikasi (dan transportasi) tidak akan mungkin dapat dibendung dan dihindari lagi. Peradaban Gelombang Ketiga ini telah “dirasuki” arus teknologi komunikasi yang memungkinkan umat manusia secara cepat menerima, mengelola, menyimpan, mengambil kembali dan mendistribusikan/mendesiminasi informasi kepada sesama manusia di sekitarnya.
Seluruh proses penerimaaan hingga ke pembagian informasi berubah sebagai suatu penataan ekonomi dunia atau katakanlah “bisnis baru” yang disebut Naisbitt (1990) dengan “Bisnis informasi umat manusia”.
TNI dan Polri pada masa itu (ketika Timor Timur masih sebagai bagian integral dari Indonesia) justru dapat dibilang cukup lengah (dan lamban) memanfaatkan peluang ini, dimana di seantero dunia telah menjamur berbagai teknologi informasi untuk membangun (membentuk) opini (pendapat umum), mengupayakan keadilan, kebebasan (demokrasi) dan perdamaian masyarakat di tempat mereka bertugas.
Belajar Sejarah dan Mereformasi diri
Belajar dari perjalanan sejarah pengabdian TNI/Polri di wilayah konflik Timor Timur pada masa lalu – yang dapat dibilang sangat pahit – itu, maka pada hari ini dan di sini, institusi keamanan nasional itu telah benar-benar-benar memanfaatkan teknologi informasi itu seefektif mungkin. Mereka (TNI/Polri) pun telah dan sedang sangat gencarnya membangun relasi dan bekerjasama dengan para penggiat media (wartawan, penulis buku, sutradara, karikaturis, penyiar radia dan televisi, penulis skenario, bloger, vloger, dan lain-lain) demi suksesnya program kerja institusi mereka yang bermuara pada terciptanya kehidupan bersama seluruh rakyat yang bebas (demokratis), adil, damai dan sejahtera di tempat mereka mengabdi.
Institusi TNI/Polri sendiri juga telah menyadari bahwa sembari mereka belajar dari pahir getirnya pengalaman perjalanan sejarah pengabdian mereka di Persada Indonesia pada masa lalu, mereka pun terus-menerus mereformasi diri (dan institusinya) sesuai tuntutan zaman. Zaman berubah dan kita pun turut berubah di dalamnya!
Sejarah mencatat dengan tinta emas bahwa setelah Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya pada bulan Mei 1998, karena didesak oleh gerakan reformasi, TNI/Polri pun mulai secara serius dan terus-menwerus mereformasikan dirinya. Salah satunya adalah, mereka dituntut untuk belajar memahami terminologi Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus melaksanakan secara nyata penghormatan atas HAM di tempat mereka bertugas. Mereka benar-benar mengontrol dirinya dan dikontrol publik melalui media!
Tentara dan Polisi saat ini sangat sadar bahwa penghormatan atas HAM merupakan syarat bagi perdamaian hidup bersama di manapun mereka bertugas. Mereka dituntut bergandengan tangan – bergotong royong dengan seluruh lapisan masyarakat untuk terus-menerus mengupayakan kebebasan (demokrasi), keadilan dan perdamaian yang merupakan pilar-pilar utama zaman reformasi.
Apa kata Tom Allard dan Jack Stubbs
Dua orang reporter Reuters Tom dan Jack memberikan judul tulisan mereka sebagai berikut:”TNI Diketahui berada dibalik Sejumlah Situs Propaganda Pemerintah Soal Papua”.
Lebih lanjut mereka menulis :”Ketika Indonesia merayakan Hari Pahlawan Nasional tahun lalu, akun-akun TNI, termasuk Kodam Jaya memuji Yunanto Nugroho memiliki segudang penghargaan di bidang teknologi dan informasi. Sebuah pujian yang tidak biasa bagi seorang perwira berpangkat rendah, tapi pekerjaannya memang tidak terbatas pada tugas-tugas yang biasa dilakukan seorang IT. Yunanto mengkoordinir situs-situs yang dimiliki dan didanai oleh TNI. Tujuannya untuk menerbitkan propaganda pro Pemerintah dengan berkedok sebagai sumber berita independen”.
Kesan saya membaca tulisan dua reporter Reuters ini adalah, sikap batin mereka ketika hendak dan sedang menulis artikel tersebut adalah suatu sikap batin yang sudah lebih dahulu berpkir dan berpendapat buruk terhadap apa saja yang dilakukan oleh TNI.
Mungkin, mereka sendiri “bermaksud baik” untuk menyampaikan bahwa pada saat ini TNI sudah masuk ke dalam dan berperan sangat aktif di dalam “dunia teknologi informasi” seperti yang diramalkan Alvin Toffler, namun pilihan kata dan cara berbahasa dalam artikel mereka ini, terkesan kuat bahwa mereka menaruh curiga, berprasangka dan berpikir buruk tentang seseorang anggota TNI dan institusi TNI yang sedang aktif ambil bagian di dalam arus komunikasi informasi melalui teknologi media sekaligus sedang giat-giatnya bekerjasama dengan para penggiat media.
Kesan kuat (belum tentu benar) dari tulisan mereka adalah, sepertinya Tom dan Jack tidak rela kalau TNI (baik oknum maupun institusi) aktif berperan di dalam dunia teknologi informasi dan dunia media pada umumnya sekaligus mereka merasa “kurang nyaman” jika TNI terlihat aktif bekerjasama dan membangun kerjasama dengan para penggiat media. Mudah-mudahan, dugaan saya (praduga tak bersalah) ini tidak benar!
Mungin bagi Tom dan jack, dunia informasi (baca: teknologi media) dimanfaatkan hanya oleh dan untuk mereka yang disebut “penggiat media” saja (yang tidak berbaju hijau atau coklat) tetapi haram hukumnya bagi institusi TNI dan Polri. TNI/Polri pun dilarang untuk membiayai kegiatan media karena jika dilakukan maka aib bagi dunia. Apabila TNI atau Polri aktif mengambil bagian di dalam “dunia informasi” maka dalam hitungan detik saja, dunia menjadi kiamat karena Allah murka kepada TNI/Polri.
Mereka lupa bahwa siapapun di dunia ini berhak berperan aktif di dalam arus informasi sekaligus berhak memanfaatkan teknologi informasi asalkan apa yang dilakukan itu, adalah benar (tidak bohong alias Hoax), jujur, adil yang semuanya bermuara pada terciptanya kehidupan bersama yang rukun, damai, adil dan sejahtera. Semua orang berhak untuk berperan aktif dalam dunia informasi. Ini merupakan Hak Asasi Manusia (HAM). Tom dan Jack harus menghormati HAM ini.
Kedua penulis ini menggunakan kata “Propaganda” yang oleh banyak pembaca dirasakan atau diartikan sebagai “negatif”. Propaganda itu tidak jauh berbeda dengan pencitraan, pengiklanan, sosialisasi dan sejenisnya. Apakah TNI tidak boleh melakukan pencitraan apabila apa yang mereka kerjakan itu terbukti baik , benar dan bermanfaat bagi banyak orang?
Seandainya, dalam rangka pencitraan itu, terbukti mereka melakukan kebohongan (ketidakjujuran), maka sudah merupakan tugas dan kewajiban kita semua (termasuk Tom dan Jack) untuk mengatakan hal yang benar dan memperbaiki tindakan mereka. Kita wajib mengoreksi apa yang mereka propagandakan itu seandainya propaganda itu adalah sebua kebohongan publik. Sebaliknya, kita pun tidak boleh menaruh kecurigaan dan bersikap buruk terhadap siapa saja (termasuk TNI/Polri) apabila apa yang mereka kerjakan itu terbukti Baik dan Benar untuk semua orang.
Sebaliknya, melarang TNI (atau siapapun juga) untuk tidak boleh mamasuki dunia informasi, merupakan tindakan yang tidak benar dan harus dihentikan. Kebenaran dan Kebaikan itu tidak hanya dimiliki Tom dan Jack saja, tetapi ada juga atau dimiliki juga oleh orang lain. Mengupayakan kebaikan, perdamaian dan kesejahteraan seluruh masyarakat di Papua itu, bukan hanya hak dan kewajiban Tom dan Jack saja, tetapi juga hak dan kewajiban TNI/Polri dan siapa saja yang “berkehendak baik”.
Paus Yohanes Paulus II pada Hari Komunikasi Sedunia ke-37, 1 Juni 2003 menulis:”Media Komunikasi harus mampu menciptakan Perdamaian Sejati. Asas moral menuntut segala komunikasi harus mengormati Kebenaran. Kebebasan untuk mencari dan mengatakan yang benar adalah asasi dalam komunikasi insani. Bukan saja komunikasi yang bersifat informasi, melainkan juga mengenai kesejahteraan umum. Media massa mengemban tanggunjawab yang tak terelakkan karena media massa merupakan arena moderen untuk pertukaran ide/gagasan dan tempat bagi semua manusia mengembangkan sikap saling pengertian dan solidaritas universal”.
Kiranya, saya bersama Tom dan Jack ikut merenungkan pesan Sri Paus Yohanes Paulus II ini dan melaksanakannya dalam tugas hidup setiap hari.
Apabila TNI/Polri dalam melaksanakan “propaganda” (menggunakan istilah Tom dan Jack) di Papua terbukti menaati dan melaksanakan apa yang telah disampaikan Sri Paus Yohanes Paulus II di atas, maka kita semua ( termasuk saya, Tom dan Jack) tidak boleh mencurigai (secara berlebihan) dan tidak pada tempatnya melarang serta menghalangi TNI/Polri memanfaatkan secara tepat, bijak dan benar semua tekologi komunikasi. Kita tidak boleh melarang TNI/Polri untuk bekerjasama dengan semua jurnalis dan institusi media serta para penggiat media lainnya demi Perdamaian, Kesejateraan, Keadilan, Demokorasi dan Kemakmuran semua orang termasuk seluruh rakyat di Tanah Papua!
Bukankah “alat tulis/pena” sudah merupakan senjata paling ampuh dalam arena “perang” zaman moderen ini? Dunia tengah dilanda “perang media”. Ini fakta bukan fiksi (facta non fictum)!
*Peter Tukan: Wartawan 1980-2010. (Bertugas di Timor Timur: 1992-1999, Perbatasan RI-Timor Leste: 1999-2006. Papua: 2006-2010.)