Image  

Catatan dari Diskusi ‘’Dokumen Abu Dhabi & Peranan Agama di Papua”

Uskup Leo Laba Ladjar OFM saat berlangsung diskusi sehari dalam rangka peringatan HUT-165 PI di Tanah Papua. (foto: istimewa)
banner 468x60

Oleh: Peter Tukan *)

PAPUAInside.com, JAYAPURA— Menyongsong  perayaan Hari  Ulang Tahun (HUT) ke-165 (1885-2020) Pekabaran Injil di Tanah Papua, 5 Februari, Forum Persekutuan Gereja-Gereja di Papua (PGGP) bekerjasama dengan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua  menggelar seminar sehari  untuk mendalami dan mendiskusikan “’Dokumen Abu Dhabi & Peranan Agama di Papua”.

banner 336x280

Seminar yang berlangsung di  Jayapura, Selasa (4/2) itu menghadirkan para pemimpin dan pemuka agama-agama yang tergabung dalam Forum Konsultasi Para pemimpin Agama (FKPPA), tokoh masyarakat, mahasiswa, pemuda dan para penggiat media.

Di bawah tema “Persaudaraan Insani Demi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” Pemimpin umat Katolik Keuskupan Jayapura, Uskup Leo Laba Ladjar,OFM  selaku pembicara utama pada seminar tersebut menyampaikan cikal bakal,  gagasan  dan cita-cita   dokumen tentang Persaudaraan Manusia atau lebih dikenal dengan sebutan “Dokumen Abu Dhabi” . Dokumen ini   ditandatangani oleh Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar, Syeikh Ahmad Al- Tayyeb  pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Seminar sehari ini berlangsung tepat satu tahun  (4 Februari 2019 – 2020) penandatanganan dokumen yang sangat  bersejarah itu.

Uskup Leo menjelaskan,  Pemimpin Gereja Katolik, Paus Fransiskus, berkunjung ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada tgl 3 – 5 Februari 2019. Kunjungan itu, seperti umumnya, adalah kunjungan pastoral dan sekaligus kenegaraan; untuk menguatkan iman umat kristiani-katolik yang tersebar di sana dan membangun relasi yang baik dengan pemerintah setempat. Ini adalah kunjungan pertama seorang Paus ke salah satu negara di jazirah Arab.

Paus Fransiskus mengambil inisiatif untuk mengadakan kunjungan itu sebagai peringatan 800 tahun perjumpaan Fransiskus Assisi dengan Sultan Mesir, Malik al-Kamil. Waktu itu, 800 tahun yang lalu,di tengah “perang salib” (atau “perang sabil”?) antara dunia Arab yang Islam dan Eropa yang Krtistiani, Fransiskus Assisi mengambil insiatif untuk satu misi damai.

Dengan fisik yang rapuh dan kepribadian yang polos, ia nekat melintasi pasukan-pasukan perang kedua pihak. Dia tidak dihabisi oleh pasukan “Sarasen” (sebutan untuk pasukan Islam) seperti dikuatirkan. Ia pergi bertemu dengan Sultan Mesir dengan motivasi yang serupa yaitu membangun hubungan damai dengan menghentikan perang.

Semangat perdamaian Fransiskus Asisi pada 800 tahun yang lampau itu dihidupkan dan disegarkan kembali oleh Paus Fransiskus dengan melakukan kunjungan kegembalaannya ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab pada 3-5 Februari 2019 lalu. Dan pada 4 Febaruari 2019, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Syeikh Ahmad Al-Tayyeb menandatangani Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama.

Hal yang diangkat dalam dokumen ini ialah berbagai masalah yang sudah dirasakan di seluruh dunia. Dikatakan dalam pendahuluan bahwa kedua belah pihak (dari Katolik dan Muslim) sudah membicarakan berbagai hal itu dalam beberapa pertemuan yang ditandai dengan suasana persahabatan dan persaudaraan.

Diakui adanya langkah-langkah positif yang sudah dicapai oleh peradaban modern dalam berbagai bidang: sains, teknologi, kedokteran, industri dan kesejahteraan, lebih-lebih di negara-negara maju.

Meskipun begitu, terpaut dengan kemajuan-kemajuan yang besar dan berharga itu, terjadi baik kemerosotan moral yang memengaruhi tindakan-tindakan internasional maupun perlemahan nilai-nilai spiritual dan tanggung jawab.Semua ini turut menciptakan rasa frustrasi yang menyeluruh, keterisolasian dan ketidakberdayaan, yang menyebabkan banyak orang jatuh ke pusaran ateistik, gnostik atau ekstremisme keagamaan yang buta dan fanatik. Hal itu akhir-akhirnya menyuburkan bentuk-bentuk ketergantungan serta pengrusakan diri, baik individual maupun kolektif.

Ekstremisme agama dan kebangsaan dan juga intoleransi telah menyebabkan perang di beberapa bagian dunia yang membawa banyak korban, janda dan yatim piatu yang jumlahnya tidak diketahui dengan pasti.Sementara itu wilayah-wilayah lain mempersiapkan diri untuk menjadi teater konflik-konflik baru dengan memproduksi senjata dan amunisi. Dalam konteks global semua itu dibayang-bayangi dengan ketidakpastian, kekecewaan dan ketakutan akan masa depan, dan dikendalikan oleh kepentingan ekonomi yang picik.

Krisis-krisis politik yang besar, situasi ketidakadilan serta kurang meratanya distribusi sumber daya alam terus menerus memperbesar jumlah orang miskin, yang sakit dan mati. Krisis demikian yang menyebabkan kematian jutaan anak yang miskin dan lapar, tetapi di tingkat internasional hanya ada kebisuan yang tidak dapat diterima.

Keluarga merupakan inti dasar masyarakat dan kemanusiaan yang melahirkan dan menumbuhkan anak dan melindunginya. Nyatanya, di era kita ini ada kekuatan jahat yang amat mengancam lembaga keluarga dengan memandangnya rendah dan menyangsikan peranannya yang penting.

Penting untuk membangkitkan kesadaran beragama dalam orang-orang muda dengan pendidikan yang sehat dan penghayatan nila-nilai moral serta ajaran agama yang benar, agar mereka dengan sikap yang kritis dapat menghadapi arus-arus yang individualistik, egoistik, konflik dan redikalisme serta ektremisme buta dalam semua bentuk ekspresinya.

Agama: maksud utama dan terpenting dari agama-agama adalah untuk percaya akan Allah, menghormati Dia, dan mengajak semua orang untuk percaya bahwa alam semesta bergantung pada Allah yang menguasainya. Dialah Pencipta. Dia menganugerahkan kehidupan yang harus kita lindungi dan tidak seorang pun yang berhak mengambilnya, mengancam atau memanipulasinya sesukanya.Sebaliknya, setiap orang harus menyelamatkan anugerah kehidupan, dari awal keberadaannya sampai kesudahannya yang natural. Maka dikutuk semua praktek yang mengancam kehidupan, seperti genosida, terorisme, pengungsian terpaksa, perdagangan manusia, aborsi dan euthanasia, juga semua kebijakan yang memajukan praktek-praktek itu.

Lebih lagi, deklarasi menegaskan bahwa agama-agama tidak boleh menghasut untuk perang, sikap benci, permususuhan dan ekstremisme, kekerasan atau penumpahan darah. Realitas yang tragis itu adalah konsekuensi dari penyimpangan ajaran agama, manipulasi politik agama-agama dan interpretasi yang dibuat oleh kelompok-kelompok agama yang dalam perjalanan sejarah meresapi sentimen keagamaan di hati orang,yang membuat mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kebenaran agama.

Maka deklarasi menyerukan kepada semua yang bersangkutan untuk berhenti menggunakan agama-agama untuk membangkitkan kebencian, kekerasan, ekstremisme, fanatisme; dan tidak menggunakan nama Allah untuk membenarkan pembunuhan, pengusiran dan pengasingan orang, terorisme daan penindasan. Dasarnya ialah iman kita bersama bahwa Allah tidak menciptakan manusia untuk dibunuh atau untuk saling memerangi, juga tidak untuk disiksa dan direndahkan dalam hidup dan lingkungannya. Allah yang mahakuasa tidak perlu dibela oleh siapapun dan tidak menghendaki nama-Nya dipakai untuk meneror orang-orang.

Persaudaraan antara sesama manusia adalah nilai transenden yang dipegang dan dijadikan terang dalam merefleksi masalah-masalah kemanusiaan itu. Allah menciptakan semua manusia, alam semesta dan semua makhluk karena kasih-Nya. Orang beriman melihat yang lain sebagai saudara, sesama ciptaan Tuhan. Mereka dipanggil untuk mengungkapkan persaudaraan itu dengan memelihara dan mengembangkan ciptaan dan alam semesta untuk mendukung semua orang, lebih-lebih mereka yang amat membutuhkan.

Dokumen itu menegaskan dasar pandangan dan kepercayaannya tentang kesetaraan penciptaan dan persaudaraan sebagai panggilan hidup: Allah telah menciptakan semua manusia setara dalam hak, kewajiban dan martabat, dan memanggil mereka untuk hidup bersama sebagai saudara, untuk memenuhi bumi dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan, cinta dan kedamaian.

Suara Tokoh Muslim

Menanggapi  penjelasan Uskup Leo Laba Ladjar,OFM itu,  tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Papua,  Dr Eko Siswanto MHI menegaskan, lahirnya dokumen perdamaian dan hidup bersama yang sangat bersejarah ini memiliki semangat yang sama dengan Piagam Madinah yakni komitmen para pemeluk Islam, Yahudi dan nasrani untuk hidup berdampingan di Madinah pada zaman lampau dan terus dirawat dari masa ke masa hingga hari ini.

“Stigma tentang mayoritas dan minoritas tidak begitu ditampakkan di Madinah,” katanya.

Dia mengisahkan, pada tahun 2012 lalu, digelar satu kegiatan bersama lintas agama dan doa bersama di Fak-Fak yang melibatkan semua umat beragama di wilayah itu untuk membangun perdamaian dan persaudaraan dalam hidup bersama.

Pemahaman bersama ketiga digelar kegiatan bersama saat itu adalah bahwa kemajemukan itu merupakan anugerah Allah SWT, bukan hanya merupakan usaha manusia belaka.

“Kita menikmati keragaman sebagai anugerah. Kita bangun kebersamaan di tengah kebhinekaan. Kita membangun dan memelihara kebersamaan bukan atas dasar  doktrin agama masing-masing tetapi  di atas landasan  nilai-nilai universal yang ada dalam setiap agama. Agamaku –agamaku dan agamamu – agamamu,” tegasnya.

Umat muslim yang baik, lanjutnya  adalah dia yang mampu mengupayakan persaudaraan, kebebasan  dan keadilan dalam hidup bersama, sebaliknya Islam tidak mengajarkan pemeluknya untuk melakukan tindakan kekerasan kepada sesama.

“Islam adalah agama perdamaian, mengajarkan umatnya untuk menghormati kehidupan- menghargai  nyawa sesama manusia. Membangun kebersamaan selalu didasari nilai-nilai universal keagamaan,” katanya.

Staf pengajar  Institut Agama Islam Negeri  (IAIN)  “ Fattahul Mulk”, Papua ini, berharap kiranya kita tidak boleh hanya berhenti pada membangun kerukunan hidup antarumat beragama, tetapi harus melangkah lebih jauh lagi yakni  secara nyata bekerjasama membangun perekonomian bersama, mengupayakan kesejahteraan bersama antarumatberagama.

Kerjasama antarumat beragama juga merupakan momentum penguatan iman masing-masing pemeluk agama. Kita jadikan kerjasama antaragama sebagai mementum penguatan spiritualitas masing-masing pemeluk agama.

Ketua Umum FKUB Provinsi Papua, Pdt Lypius Biniluk ketika secara resmi membuka kegiatan seminar sehari ini mengatakan, membangun perdamaian bersama membutuhkan komunikasi yang terus-menerus tanpa kenal lelah.

“Terimakasih atas kepedulian anda semua untuk mengupayakan perdamaian di Papua bahkan seluruh Indonesia dan seluruh dunia,” kata Lypius.

Seluruh “lalulintas”  diskusi selama  berlangsungnya seminar yang membahas upaya perdamaian dan hidup bersaudara ini  dipandu staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat -Teologi (STFT)  “Fajar Timur”, Pastor Konstant Bahang,OFM yang selama ini dikenal  ikut  aktif dalam berbagai kegiatan bersama  antarumat beragama yang mengusung tema “perdamaian dan persaudaraan  sejati di Tanah Papua”.

Tanggal 5 Februari merupakan hari yang bersejarah dalam Pekabaran Injil di Tanah Papua. Sejak tahun 2002, para pemimpin agama yang bukan Kristen, turut bersama  saudara-saudaranya umat Kristen dalam kegiatan-kegiatan perayaan Hari Pekabaran Injil, saqlah satu di antaranya adalah ambil bagian dalam seminar dan diskusi bersama.

Menurut Uskup Leo Laba Ladjar, OFM, keikutsertaan mereka bukan hanya tanda solidaritas, tetapi karena kerinduan kita bersama untuk membangun persekutuan, kerukunan dan damai menuju terwujdnya Papua Tanah Damai.

“Hari Pekabaran Injil 5 Februari, merupakan saat yang tepat untuk itu, karena bukankah inti Injil ialah syalom, salam, Damai Sejahtera yang kita semua rindukan?” kata Uskup Leo Laba Ladjar,OFM. **

*Peter Tukan: Wartawan 1980-2013.

 

 

 

banner 336x280