Oleh: Ignas Doy |
Papuainside.com, Jayapura—Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk Bahlil Lahadalia menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Meskipun penunjukan Menteri adalah hak prerogative Presiden namun mengatakan Bahlil Lahadalia sebagai representasi Orang Asli Papua (OAP) menuai pro kontra netizen, khususnya di Provinsi Papua.
Pengamat Politik Papua Theo Sitokdana di Jayapura, Jumat (25/10) mengatakan, jika Jokowi menunjuk Bahlil Lahadalia menjadi Kepala BKPM, maka sebagai OAP (Orang Asli Papua) mesti berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan, karena walaupun Bahlil Lahadalia memang secara biologis bukan darah dari nenek moyang OAP.
Tapi Bahlil Lahadalia adalah orang yang besar di Tanah Papua dan dia memiliki jiwa Papua lebih dari pada OAP. Bahkan dia lebih mencintai Papua.
“Dia pernah makan makanan yang tumbuh di Papua. Dia pernah minum air yang mengalir dari Tanah Papua. Dan karakter diri dia, pribadi diri dia, pikiran diri dia, jiwa dia sudah terbentuk dari Tanah Papua,” ujar mantan Wakil Bupati Pegunungan Bintang ini.
“Kalau sebenarnya kita bisa sampaikan kepada Pak Jokowi jangan tempatkan dia disitu. Tapi tempatkan dia jadi Menteri Pendidikan, supaya perhatikan kami di Papua. Seharusnya kan begitu, jangan menolak Bahlil Lahadalia,” ucapnya.
Ia mengatakan, jadi memang benar memilih Menteri adalah hak prerogatif Presiden. Ini amanat konstitusi Republik Indonesia. Jadi itu hak prerogatif Presiden untuk memilih Menteri sebagai pembantu Kepala Negara.
Menurut dia, Menteri itu harus dari kalangan profesional. Entah profesional di bidangnya lewat mekanisme birokrasi atau profesional dari kalangan swasta atau juga politisi yang betul-setul loyalis dan profesional bukan politisi oportunis.
Tapi amanat konstitusi itu tak secara konsisten dilaksanakan di RI. Karena itu, orang selalu memanfaatkan hak prerogatif Presiden secara politis. Mempolitisir hak itu akhirnya dari Presiden ke Presiden hak prerogatif tak secara konsisten melaksanakan amanat konstitusi. Justru Presiden selalu dibawa diombang- ambing oleh kepentingan –kepentingan partai politik.
Akhirnya kursi menteri menjadi kursi politik. Kursi menteri menjadi kursi politik yang menyebabkan orang bisa mengaspirasikan kepentingan mereka untuk menduduki kursi Menteri.
“Entah kau datang dari latar belakang profesional atau tidak yang penting aspirasi kami harus diterima. Jadi orang jadikan itu sebagai kursi politik sama dengan kursi legislatif,” terangnya.
“Silakan orang kami dari daerah ini begini dari daerah ini begini dari golongan ini begini dari suku ini begini dari agama ini begini. Akhirnya itu sudah jadi konsitensi atas konstitusi yang ditetapkan bahwa memilih Menteri itu hak prerogatifnya Presiden sudah diabaikan lagi dan sudah dipolitisir,” tuturnya.
Ia menerangkan, akibatnya OAP akhirnya terbawa emosi itu. Apalagi melihat kondisi daerah Papua, dimana Tanah Papua dengan segala kekayaannya dipakai oleh Jakarta, sehingga yang terjadi orang menjadikan kursi Menteri sebagai salah- satu alternatif, untuk menyuarakan aspirasi mereka, supaya harga diri dan identitas mereka bisa diakomodir salah satunya lewat kursi menteri.
Dijelaskannya, kalau hak prerogatif Presiden yang sesuai konstitusi Republik ini secara konsisten dilaksanakan oleh pemerintah RI dari Presiden ke Presiden dari semua pihak partai politik. Juga kalangan profesional dan kalangan dunia usaha semua mengakui bahwa itu hak prerogatif dan diberi kesempatan seluas luasnya kepada Presiden untuk memilih dan menetapkan pembantu pembantunya, maka sebenarnya orang tak perlu menjadikan kursi Menteri sebagai kursi aspiratif.
“Tak perlu, karena itu kursi profesional. Orang profesional yang boleh bekerja disitu. Dia dipilih oleh Presiden untuk dia membantu Presiden. Jadi karena sudah makin membudaya mengaspirasikan orang untuk menduduki kursi Menteri itu sebagai kursi politik,” sebutnya.
Ia mengutarakan, orang menjadikan oke kalau begitu suku ini mengaspirasikan ini golongan agama ini mengaspirasikan ini terus kelompok ini mengaspirasikan ini. Akhirnya apa sebenarnya dampaknya itu akan dialami oleh Presiden sendiri. Kadang- kadang kepentingan kelompok mengusulkan itu mendominasi dari pada kebijakan atau Visi Misi Presiden.
Ini yang terjadi, tapi sebenarnya kalau betul- betul secara konsisten dan konsekwen melaksanakan amanat konstitusi RI, dimana memilih menteri adalah hak prerogatif Presiden.
“Kalau mau bicara kursi politik atau aspirasi aspirasi silakan di kursi -kursi politik. Ini sebenarnya yang mengajarkan orang Papua untuk menyampaikan aspirasi seperti ini adalah partai politik. Partai politik punya kelakuan tak baik membuat orang Papua juga ikut -ikutan ke partai politik.
Karena itu, lanjutnya, partai politik mereka punya kepentingan mengaspirasikan orang mereka masuk ke dunia profesional.
Dunia menteri bukan kursi untuk partai politik, melainkan kursi profesional. Tapi orang- orang di partai politik punya kepentingan, sehingga mereka mengusulkan orang untuk maju jadi Presiden. Akhirnya partai politik punya kepentingan yang mendominasi disitu. **