Penentuan Cabup/Cawabup Hendaknya Bersandar pada Aspek Affirmative, Protection dan Promotion OAP

Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua, (foto: istimewa)

Oleh: Nethy DS |

PAPUAInside.com, JAYAPURA— Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua, Yan Christian Warinussy berpendapat, penentuan calon bupati/wakil bupati untuk kabupaten di Papua Barat dan Papua yang akan ikut Pilkada serentak 2020 hendaknya berdasarkan pada tiga aspek, affirmative (keberpihakan), protection (perlindungan) dan promotion (pemajuan) Orang Asli Papua (OAP).

Hal tersebut sesuai dengan amanat pasal 1 huruf t dan pasal 6 ayat (2) serta pasal 12 huruf a dari Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Di Provinsi Papua Barat, Undang Undang Otsus Papua tersebut diberlakukan berdasarkan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang Undang.

‘’Sehingga seyogyanya hal ini semestinya disadari oleh saudara-saudara yang non Papua bahwa kesempatan utama dan pertama wajib diberikan kepada OAP. OAP berhak dan semestinya diutamakan untuk mencalonkan atau dicalonkan sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di wilayah Papua dan Papua Barat,’’ tulis Warinuussy dalam rilis yang diterima PAPUAInside.com.

Dijelaskan untuk definisi OAP sudah dijelaskan dalam Pasal 1 huruf t UU RI No.21 Tahun 2001. Yaitu Orang yang berasak dari Rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan atau Papua Barat.

‘’Pertanyaannya, siapa yang masuk dalam kategori ini? Menurut saya dari sisi sosio-antropologis mereka adalah orang asli Papua dari suku seperti Biak, Yapen Waropen, Tabi-Jayapura, Wamena, Merauke, Mimika, Paniai, Nabire, Wondama, Kaimana, Fakfak, Kokas, Teluk Bintuni, Teminabuan, Sorong, Maybrat, Kebar, Raja Ampat dan Manokwari. Semuanya terliput dalam 7 (tujuh) wilayah adat di Tanah Papua,’’ jelas Koordinator JDP (Jaringan Damai Papua) Papua Barat ini.

Sehingga, kata Warinussy, jika ada saudara-saudara yang bukan asli Papua seperti turunan Cina, Ambon, Key, Seram, Arab dan lain-lain jelas ini tidak memiliki hak politik sebagaimana diatur dalam definisi pasal 1 huruf t tersebut.

Dikatakan, memang ada ruang dalam bagian kedua dari definis pasal tersebut yang berbunyi : “dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai OAP oleh masyarakat Papua”, namun perlu kehati-hatian serta semestinya dapat dilakukan jika OAP tidak ada yang memenuhi kriteria lain dalam konteks pemenuhan hak politik mereka.

‘’Jadi sepanjang OAP ada dan bisa memenuhi posisi sebagai calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota, maka seyogyanya saudara-saudara yang non OAP bisa sadar dan tahu diri untuk tidak “memaksakan” diri dicalonkan, apalagi mencalonkan dirinya pada posisi tersebut,’’ tegas penerima penghargaan internasional John Humphrey Freedom award  tahun 2005.

Ditekankan, kita mesti sadar dan menyimak dengan baik pertimbangan hukum di dalam konsideran menimbang huruf e, huruf f dan huruf g dari UU RI No.21 Tahun 2001 tersebut. Inilah dasar pijak utama dari pembentuk undang undang sebagai upaya konsitusional guna menjaga integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ini penting kata Warinussy, dengan mengingat bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI adalah sebuah integrasi politik dan bukan integrasi budaya atau integrasi sosial.

Pilkada Serentak di Papua dan Papua Barat tahun 2020 diikuti 20 kabupaten, 9 di Provinsi Papua Barat yaitu:  Kabupaten Pegunungan Arfak, Manokwari Selatan Sorong Selatan, Raja Ampat, Kaimana, Teluk Bintuni, Fakfak, Teluk Wondama dan Manokwari. 11 Kabupaten di Provinsi Papua yaitu: Kabupaten Nabire, Asmat, Keerom, Waropen, Merauke, Mamberamo Raya, Pegunungan Bintang, Boven Digoel, Yahukimo, Supiori dan Yalimo. **