Oleh: Peter Tukan*
PADA Senin, 23 Desember 2019 terbetik kabar, Wentinus Nemiangge yang sehari-hari menjabat Wakil Bupati Kabupaten Nduga, Provinsi Papua – mendampingi Bupati Nduga Yairus Gwijangge, secara lisan menyatakan mengundurkan diri dari jabatan yang diembannya selama ini.
Setelah Wentinus menyampaikan sikap pengunduran diri dari jabatan Wabup Nduga di hadapan masyarakat setempat, yang ketika itu berkumpul di lapangan terbang (Lapter) Kenyam, ibukota Kabupaten Nduga, berbagai pihak langsung memberikan beragam reaksi dan tanggapan lisan maupun tertulis, baik melalui media massa cetak dan elektronik maupun media sosial lainnya.
Setidaknya, terdapat dua reaksi masyarakat yang sangat bertolak belakang atas pengunduran diri Wentinus dari jabatan Wabup Nduga. Pertama, adalah sikap dan reaksi terkejut karena tidak diduga-duga sebelumnya, disertai ungkapan perasaan yang spontan dan cukup emosional. Ada rasa kecewa yang mendalam disusul lontaran kritik pedas dialamatkan kepada pemerintah pusat dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Nada mengecam, mengancam dan mempersalahkan cukup mendominasi reaksi pengunduran diri Wentinus.
Ada politisi senior di Papua berpendapat bahwa tindakan pengunduran diri Wentinus dari jabatan birokrasi di pemerintahan Kabupaten Nduga itu, dapat berdampak buruk bagi iklim perpolitikan di kabupaten tersebut juga berpengaruh negatif pada tingkat regional Provinsi Papua, malahan berdampak buruk di tingkat nasional terkait keberlangsungan eksistensi Papua di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk itu disarankan agar tindakan pengunduran diri (secara lisan belum tertulis) dari Wabup Wentinus harus segera disikapi oleh Pemerintah Pusat. Malahan, pengunduran diri Wentinus itu pun dinilai merupakan akibat dari kesalahan yang dilakukan Pemerintah Pusat dalam menangani (mengelola) konflik politik dan kekerasan di Kabupaten Nduga yang diketahui sudah kronis.
Anggota DPR Papua (DPRP), Boy Markus Dawir kepada media berpendapat bahwa mundurnya Wabup Wentinus dari jabatan Wabup menjadi peringatan serius kepada Pemerintah Pusat agar segera mengambil langkah taktis dan terukur.
“Kalau kita melihat alasan Pak Wabup ini, memang sangat masuk akal. Dia bicara atas nama rakyatnya yang sudah banyak jadi korban operasi militer di sana. Di sisi lain, selama ini Pemda sudah sampaikan aspirasinya tetapi tidak digubris pemerintah pusat,” kata Boy Markus Dawir (24/12).
Menurut Boy Markus Dawir, jika pemerintah pusat tidak mengambil langkah-langkah, maka berdampak buruk bagi keberlangsungan NKRI di Papua.
Pernyataan Boy Markus Dawir tersebut sepertinya merupakan reaksi atas pernyataan Wabup Wentinus saat menyampaikan pengunduran dirinya sebagai Wabup di hadapan masyarakatnya sendiri di Lapter Kenyam, Nduga (23/12) bahwa telah satu tahun terjadi konflik berkepanjangan di Nduga yang tidak kunjung henti namun pemerintah pusat tidak segera menarik pasukan TNI dari wilayah konflik itu.
“Sudah satu tahun terjadi seperti ini. Kami pemerintah daerah sudah menghadap Menteri, DPR RI, Panglima dan Kapolri meminta agar pasukan TNI-Polri yang ada di Nduga segera ditarik agar masyarakat kembali ke kampung-kampung untuk beraktivitas seperti biasanya. Namun, sampai hari ini permintaan kami ini tidak pernah direspons, bahkan penembakan terhadap warga sipil terus terjadi,” ungkapnya dengan nada kecewa di hadapan ratusan masyarakat Nduga.
Wentinus berpendapat, permintaan dirinya bersama Bupati Yairus Gwijangge kepada pemerintah pusat, tidak digubris, padahal mereka adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Atas dasar inilah, — yang juga disusul tragedi kematian warga Nduga atas nama Hendrik Lokbere belum lama ini — maka pada akhirnya (secara lisan), Wentinus memutuskan untuk meletakkan jabatannya sebagai Wabup Nduga dan selanjutnya kembali menjadi warga masyarakat biasa.
Sikap kedua (yang tentu berbeda dengan sikap pertama) atas pengunduran diri Wentinus dari jabatan Wakil Bupati Nduga, adalah: banyak orang bersikap tenang tanpa emosional, biasa-biasa saja dan menganggapnya sebagai hal yang bukan luar biasa di dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Prinsip patah – tumbuh, hilang-berganti, ada yang datang dan ada pula yang pergi, hari ini ada yang mundur dan besok ada pula yang menggantikan, semua itu bukanlah hal yang mengejutkan dan mencemaskan serta tidak perlu dibesar-besarkan. Bukan pula merupakan sebuah peristiwa yang menggegerkan karena dunia belum kiamat!
Bagi mereka yang bersikap demikian, masalah pengunduran diri Wentinus dari jabatan Wabup Nduga adalah masalah sepele, malahan masih begitu banyak masalah lain yang jauh lebih penting dan mendesak untuk diperhatikan dan ditangani dengan segera dibandingkan dengan pernyataan pengunduran diri Wentinus di hadapan rakyat Nduga.
Pengunduran diri Wentinus bukanlah akhir dari segala-galanya dan bukanlah merupakan persoalan nasional serta tidak perlu dinasionalkan. Malahan, tidak perlu menginternasionalisasikan pengunduran diri Wentinus karena dunia tengah menghadapi jutaan permasalahan lain yang jauh lebih berat dan pelik daripada tindakan pengunduran diri Wentinus.
Malahan, banyak pihak berpendapat bahwa pengunduran diri dari jabatan Wabup Itu murni merupakan masalah dan urusan pribadi Wentinus yang tidak perlu dan tidak ada gunanya melibatkan orang lain, serta bukanlah ranahnya pemerintah pusat atau institusi lain untuk sibuk atau menyibukkan diri dengan tindakan pengunduran diri tersebut. Biarkan saja! Tidak penting!
Sikap seperti ini, antara lain tergambar di dalam diri Jhon Al Norotow yang menulis cukup panjang lebar di media massa dengan judul tulisan “Sikap Wakil Bupati Nduga Perlu Diikuti Seluruh Pejabat Pemprov/Pemda di Papua” (24/12).
Kesan pertama saat membaca pendapat Jhon Al Norotow adalah bahwa apabila Wentinus mengundurkan diri dari jabatan Wabup Nduga karena merasa kecewa terhadap pemerintah pusat, maka itu adalah haknya, silahkan saja! Selanjutnya, apabila masih ada juga pejabat pemerintah di tingkat kabupaten dan provinsi di Papua ingin pula mengikuti jejak Wentinus, Jhon mempersilahkan tanpa melarang atau menahan niat pengunduran diri itu.
“Sikap Wakil Bupati Nduga tersebut bukanlah sesuatu hal yang mengagetkan, justeru patut diapresiasi bahkan perlu diikuti seluruh pejabat Pemda dan pejabat birokrasi lainnya di Provinsi Papua. Hanya saja, sikap tersebut terkesan sangat terlambat, karena peristiwa kemanusiaan di Nduga bukan hanya baru sekarang,” tulis Jhon Al Norotow.
Jhon sebenarnya ingin menantang pejabat pemerintah lainnya di Papua sembari memandang persoalan pengunduran diri Wentinus dari jabatan Wabup Nduga sebagai sebuah permasalahan yang tidak (terlalu) penting untuk diperhatikan dan disikapi pemerintah pusat dan lembaga-lembaga terkait lainnya.
Malahan, dalam artikelnya itu, Jhon membeberkan secara cukup rinci berbagai peristiwa kemanusiaan di Nduga sepanjang tahun 2018 hingga 209 yang sangat memilukan hati.
Apabila Jhon Al Norotow bersikap demikian, maka pertanyaannya, bagaimana reaksi dan tanggapan Pemerintah Pusat?
Kementerian Dalam Negeri (Kemandagri) melalui Dirjen Pusat Penerangan (Puspen) Kemendagri, Bahtiar menyatakan, pernyataan pengunduran diri Wentinus dari jabatan Wabup Nduga belum diketahui pihak Kemendagri. “Belum tahu, baru info dari media,” kata Bahtiar (24/12).
Lebih lanjut Bahtiar mengatakan, jika benar Wentius mundur, maka segala urusan adminsitrasi dan kewenangan ada di tangan Gubernur sebagai pembina. Hal itu tertuang dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Nanti kami cek kepada Gubernur atau Pemprov Papua sebagai pembinanya,” pungkasnya.
Mencermati reaksi dan pernyataan pihak Kemendagri ini, ada kesan kuat bahwa peristiwa pengunduran diri Wentinus merupakan hal biasa dalam kehidupan pemerintahan. Bukanlah suatu peristiwa yang mengejutkan dan menggemaparkan panggung politik nasional. Tidak ada kiamat di Nduga dengan mundurnya Wentinus. Semuanya (terkait pengunduran diri seorang pejabat pemerintah) sudah diatur di dalam Undang-Undang. Malahan, Kemendagri kembalikan persoalan pengunduran diri Wentinus kepada Pemprov Papua. Memang, itulah prosedurnya!
Berpolitik yang Bijaksana dan Sejuk
Apabila kita mencermati secara sungguh-sungguh dua sikap dan reaksi ekstrem yang terpapar di atas, kita diajak untuk menyadari secara sungguh-sungguh bahwa berpolitik itu harus cerdas, santun, lincah, tidak emosional dan penuh hikmat kebijaksanaan. Politisi harus dapat menjadi bagaikan ular yang lincah bergerak – sekaligus menjadi bagaikan merpati yang tulus dan bijaksana!
Mungkin, bagi kita yang berada di Papua yang setiap hari dekat dengan Nduga dan permasalahannya, tindakan pengunduran diri Wentinus dari jabatannya sebagai Wakil Bupati merupakan sebuah permasalahan yang mengejutkan, mencemaskan dan mengundang emosi yanjg hampir tidak terkendali. Namun, bagi mereka yang jauh dari Papua khususnya jauh dari Nduga, pengunduran diri Wentinus dari jabatan sebagai Wabup Nduga merupakan persoalan pribadi yang bersangkutan, tidak mengegerkan dan tidak perlu dikhawaitrkan dan tidak perlu melibatkan banyak orang dan banyak institusi.
Di sini berlaku apa yang sering disebut “jauh panggang dari api” – artinya, apabila panggangan itu dekat dengan sumber api maka akan cepat merasakan betapa panasnya api itu. Namun apabila panggangan itu terletak jauh dari perapian maka rasa panasnya akan jauh berkurang.
Sikap dan tindakan yang harus dilakukan adalah, bagaimana cara kita untuk menempatkan diri di dalam persoalan ini. Posisi kita adalah, berada tidak terlalu dekat dengan sumber api tetapi juga tidak terlalu jauh dari sumber api. Pada posisi ini, kita akan menjadi sedikit lebih sejuk memandang persoalan Nduga dan akan lebih bijaksana dalam mengelola persoalan konflik Nduga.
Tugas utama pemerintah adalah menerapkan keadilan, menyelenggarakan demokrasi, menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan desentralisasi, mengatur perekonomian, menjaga keamanan, memelihara persatuan, merawat dan melestarikan lingkungan, melindungi hak asasi manusia, serta meningkatkan kemampuan dan moral masyarakat.
Usulan dari Nduga agar aparat keamanan khususnya TNI ditarik dari Nduga agar masyarakat yang selama ini berlari masuk hutan mengungsi meninggalkan kampung halaman mereka dapat kembali lagi ke kampungnya masih-masing, sebenarnya merupakan sebuah usulan yang baik demi kebaikan hidup seluruh masyarakat Nduga. Namun, menurut Wentinus, usulan yang baik ini, hingga sekarang belum malahan tidak digubris oleh Pemernitah Pusat.
Menyadari akan hal ini, maka kita pun harus kembali bertanya kepada diri kita sendiri, mengapa hal yang baik ini (agar masyarakat dapat kembali beraktivitas di kampungnya sendiri) belum juga mendapat respons positif dari pemerintah pusat? Bukankah salah satu tugas utama pemerintah adalah menjaga keamanan dan melindungi hak asasi manusia?
Di sini, dialog yang jujur, adil dan transparan dalam iklim penuh persaudaraan sejati menjadi jembatan emas penyelesaian masalah Nduga yang kronis itu, bukan sebaliknya, mengundurkan diri dari/ atau melepaskan jabatan publik yang dipercayakan rakyat kepada kita. Mengundurkan diri bukanlah merupakan jawaban atau solusi yang tepat, jitu, elegan, cerdas dan bijaksana!
Politik itu bagaikan sebuah permainan. Masuklah ke dalam permainan ini. Bermainlah dengan tidak main-main agar dapat meraih kemenangan yang bukan main!
*Peter Tukan: Wartawan aktif (1983-2010)