Mencermati Perbedaan Sikap Mundurnya Wakil Bupati Nduga Papua

Peter Tukan. (istimewa)
banner 468x60

Oleh: Peter Tukan*

PADA Senin, 23 Desember 2019 terbetik kabar,  Wentinus Nemiangge yang sehari-hari menjabat  Wakil Bupati Kabupaten Nduga, Provinsi Papua  –  mendampingi Bupati Nduga Yairus Gwijangge, secara lisan menyatakan mengundurkan diri dari jabatan yang  diembannya selama ini.

banner 336x280

Setelah Wentinus menyampaikan sikap pengunduran diri dari jabatan Wabup Nduga di hadapan masyarakat setempat,  yang ketika itu  berkumpul di lapangan terbang (Lapter) Kenyam, ibukota Kabupaten Nduga, berbagai pihak langsung memberikan  beragam  reaksi dan tanggapan  lisan maupun tertulis, baik melalui media massa  cetak dan elektronik maupun media sosial lainnya.

Setidaknya, terdapat dua reaksi masyarakat yang sangat bertolak belakang atas  pengunduran diri Wentinus dari jabatan Wabup Nduga. Pertama, adalah  sikap dan reaksi terkejut  karena tidak diduga-duga sebelumnya, disertai  ungkapan perasaan yang  spontan dan cukup emosional. Ada rasa kecewa yang mendalam disusul lontaran  kritik pedas dialamatkan kepada pemerintah pusat dan pihak-pihak  lain  yang berkepentingan.  Nada mengecam, mengancam   dan mempersalahkan cukup   mendominasi reaksi pengunduran diri Wentinus.

Ada politisi senior di Papua berpendapat bahwa tindakan  pengunduran diri Wentinus  dari jabatan birokrasi  di pemerintahan Kabupaten Nduga itu,  dapat berdampak buruk bagi iklim perpolitikan di kabupaten tersebut juga berpengaruh negatif pada tingkat  regional Provinsi Papua,  malahan berdampak buruk  di tingkat nasional terkait  keberlangsungan eksistensi Papua di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Untuk itu disarankan agar  tindakan pengunduran diri (secara lisan belum tertulis) dari  Wabup Wentinus  harus segera disikapi  oleh Pemerintah Pusat. Malahan, pengunduran diri Wentinus itu pun dinilai  merupakan akibat dari kesalahan yang dilakukan  Pemerintah Pusat dalam menangani (mengelola) konflik politik dan kekerasan di Kabupaten Nduga yang diketahui  sudah  kronis.

Anggota DPR Papua (DPRP), Boy Markus Dawir kepada media berpendapat bahwa mundurnya Wabup Wentinus dari jabatan Wabup menjadi peringatan serius kepada Pemerintah Pusat agar segera mengambil langkah taktis dan terukur.

“Kalau kita melihat alasan Pak Wabup ini, memang sangat masuk akal. Dia bicara atas nama rakyatnya yang sudah banyak jadi korban operasi militer di sana. Di sisi lain, selama ini Pemda sudah sampaikan aspirasinya tetapi tidak digubris pemerintah pusat,” kata Boy Markus Dawir (24/12).

Menurut Boy Markus Dawir, jika pemerintah pusat  tidak mengambil langkah-langkah, maka berdampak buruk bagi keberlangsungan NKRI di Papua.

Pernyataan Boy Markus Dawir tersebut sepertinya  merupakan reaksi atas pernyataan Wabup Wentinus  saat menyampaikan pengunduran dirinya sebagai Wabup di hadapan masyarakatnya sendiri di Lapter Kenyam, Nduga (23/12) bahwa telah satu tahun terjadi konflik berkepanjangan di Nduga yang tidak kunjung henti namun pemerintah pusat tidak segera menarik pasukan TNI dari wilayah konflik itu.

“Sudah satu tahun terjadi seperti ini. Kami pemerintah daerah sudah menghadap Menteri, DPR RI, Panglima dan Kapolri meminta agar pasukan TNI-Polri yang ada di Nduga segera ditarik agar masyarakat kembali ke kampung-kampung untuk beraktivitas seperti biasanya. Namun, sampai hari ini permintaan  kami ini tidak pernah direspons, bahkan penembakan terhadap warga sipil terus terjadi,” ungkapnya dengan nada kecewa di hadapan ratusan masyarakat Nduga.

Wentinus berpendapat, permintaan dirinya bersama Bupati Yairus Gwijangge kepada pemerintah pusat, tidak digubris,  padahal mereka adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Atas dasar inilah,  — yang juga disusul tragedi kematian warga Nduga atas nama  Hendrik Lokbere belum lama ini — maka  pada akhirnya (secara lisan), Wentinus memutuskan untuk meletakkan jabatannya sebagai Wabup Nduga dan  selanjutnya kembali menjadi warga masyarakat biasa.

Sikap  kedua (yang tentu berbeda dengan sikap pertama)  atas pengunduran diri Wentinus  dari jabatan Wakil Bupati Nduga, adalah:  banyak  orang bersikap  tenang tanpa emosional, biasa-biasa saja dan menganggapnya sebagai hal yang  bukan luar biasa  di dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Prinsip patah – tumbuh, hilang-berganti, ada yang datang dan ada pula yang pergi, hari ini ada yang mundur dan besok ada pula yang menggantikan, semua itu  bukanlah hal yang mengejutkan dan mencemaskan serta tidak perlu dibesar-besarkan.  Bukan pula merupakan sebuah peristiwa yang menggegerkan karena dunia belum kiamat!

Bagi mereka yang bersikap demikian, masalah pengunduran diri Wentinus dari jabatan Wabup Nduga adalah masalah sepele, malahan masih begitu banyak masalah lain yang jauh lebih penting dan mendesak untuk diperhatikan dan ditangani dengan segera dibandingkan dengan pernyataan  pengunduran diri Wentinus di hadapan rakyat Nduga.

Pengunduran diri Wentinus bukanlah akhir dari segala-galanya dan bukanlah  merupakan persoalan nasional serta tidak perlu dinasionalkan. Malahan, tidak perlu menginternasionalisasikan pengunduran diri Wentinus karena dunia tengah menghadapi jutaan permasalahan lain yang jauh lebih berat  dan pelik daripada  tindakan pengunduran diri Wentinus.

Malahan, banyak pihak  berpendapat bahwa pengunduran diri dari jabatan Wabup  Itu  murni  merupakan masalah  dan urusan  pribadi  Wentinus yang tidak perlu dan tidak ada gunanya melibatkan orang lain, serta bukanlah ranahnya  pemerintah pusat atau institusi lain  untuk sibuk atau menyibukkan diri  dengan tindakan  pengunduran diri tersebut. Biarkan saja! Tidak penting!

Sikap  seperti ini,  antara lain tergambar di dalam diri Jhon Al Norotow yang menulis cukup panjang lebar di media massa dengan judul tulisan  “Sikap Wakil Bupati Nduga Perlu Diikuti Seluruh Pejabat Pemprov/Pemda di Papua” (24/12).

Kesan pertama saat  membaca pendapat Jhon Al Norotow adalah bahwa apabila Wentinus mengundurkan diri dari jabatan Wabup Nduga karena merasa kecewa terhadap pemerintah pusat, maka itu adalah haknya, silahkan saja!  Selanjutnya,  apabila masih ada juga pejabat pemerintah di tingkat kabupaten dan provinsi di Papua ingin pula mengikuti jejak Wentinus, Jhon mempersilahkan tanpa melarang atau menahan niat pengunduran diri itu.

“Sikap Wakil Bupati Nduga tersebut bukanlah sesuatu hal yang mengagetkan, justeru patut diapresiasi bahkan perlu diikuti  seluruh pejabat Pemda dan pejabat birokrasi lainnya di Provinsi Papua. Hanya saja, sikap tersebut terkesan sangat terlambat, karena peristiwa kemanusiaan di Nduga bukan hanya baru sekarang,” tulis Jhon Al Norotow.

Jhon sebenarnya ingin menantang pejabat pemerintah lainnya  di Papua  sembari memandang persoalan  pengunduran diri Wentinus dari jabatan Wabup Nduga sebagai sebuah permasalahan yang tidak (terlalu)  penting untuk diperhatikan dan disikapi  pemerintah pusat dan lembaga-lembaga terkait lainnya.

Malahan, dalam artikelnya itu,  Jhon membeberkan secara cukup rinci berbagai peristiwa kemanusiaan di Nduga sepanjang tahun 2018 hingga 209 yang sangat memilukan hati.

Apabila Jhon Al Norotow bersikap demikian, maka pertanyaannya, bagaimana reaksi dan tanggapan Pemerintah Pusat?

Kementerian Dalam Negeri (Kemandagri) melalui Dirjen  Pusat Penerangan (Puspen) Kemendagri, Bahtiar menyatakan, pernyataan pengunduran diri Wentinus dari jabatan Wabup Nduga belum diketahui pihak Kemendagri.  “Belum tahu, baru info dari media,” kata Bahtiar (24/12).

Lebih lanjut Bahtiar mengatakan, jika benar Wentius mundur,  maka segala urusan adminsitrasi dan kewenangan ada di tangan Gubernur sebagai pembina. Hal itu tertuang dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan  Daerah.

“Nanti kami cek kepada Gubernur atau Pemprov Papua sebagai pembinanya,” pungkasnya.

Mencermati reaksi dan pernyataan pihak Kemendagri ini, ada kesan kuat bahwa peristiwa pengunduran diri Wentinus merupakan hal biasa dalam kehidupan pemerintahan.  Bukanlah suatu peristiwa yang mengejutkan dan menggemaparkan panggung politik nasional. Tidak ada kiamat di Nduga dengan mundurnya Wentinus. Semuanya (terkait pengunduran diri seorang pejabat pemerintah) sudah diatur di dalam Undang-Undang. Malahan, Kemendagri kembalikan persoalan pengunduran diri  Wentinus  kepada Pemprov Papua. Memang, itulah prosedurnya!

Berpolitik yang Bijaksana dan Sejuk

Apabila kita mencermati secara sungguh-sungguh dua sikap dan reaksi ekstrem yang terpapar di atas, kita diajak untuk menyadari secara sungguh-sungguh bahwa berpolitik itu harus cerdas, santun, lincah, tidak emosional   dan penuh hikmat kebijaksanaan.  Politisi harus  dapat menjadi bagaikan ular yang lincah bergerak – sekaligus menjadi  bagaikan merpati yang  tulus dan bijaksana!

Mungkin, bagi kita yang berada di Papua yang setiap hari dekat dengan Nduga dan permasalahannya, tindakan pengunduran diri Wentinus dari jabatannya sebagai Wakil Bupati merupakan sebuah permasalahan yang mengejutkan, mencemaskan dan mengundang emosi yanjg hampir tidak terkendali. Namun, bagi mereka yang jauh dari Papua khususnya jauh dari  Nduga, pengunduran diri Wentinus dari jabatan sebagai Wabup Nduga merupakan persoalan pribadi yang bersangkutan, tidak mengegerkan dan tidak perlu dikhawaitrkan dan tidak perlu melibatkan banyak orang dan banyak institusi.

Di sini berlaku apa yang sering disebut “jauh panggang dari api” – artinya, apabila panggangan itu dekat dengan sumber  api maka akan cepat merasakan  betapa panasnya api itu. Namun apabila panggangan itu terletak jauh dari perapian maka rasa panasnya akan jauh berkurang.

Sikap dan tindakan yang harus dilakukan adalah, bagaimana cara kita untuk menempatkan diri di dalam persoalan ini. Posisi kita adalah, berada tidak terlalu dekat dengan sumber api tetapi juga tidak terlalu jauh dari sumber api. Pada posisi ini, kita akan menjadi  sedikit lebih sejuk memandang persoalan Nduga dan akan  lebih bijaksana dalam mengelola persoalan konflik Nduga.

Tugas utama pemerintah adalah menerapkan keadilan, menyelenggarakan demokrasi, menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan desentralisasi, mengatur perekonomian, menjaga keamanan, memelihara persatuan, merawat dan melestarikan lingkungan, melindungi hak asasi manusia, serta meningkatkan kemampuan  dan moral masyarakat.

Usulan dari Nduga agar aparat keamanan khususnya TNI  ditarik dari Nduga agar masyarakat yang selama ini berlari masuk hutan mengungsi meninggalkan kampung halaman mereka dapat kembali lagi ke kampungnya masih-masing, sebenarnya merupakan sebuah usulan yang baik demi kebaikan hidup seluruh masyarakat Nduga. Namun, menurut Wentinus, usulan yang baik ini,  hingga sekarang belum malahan tidak digubris oleh Pemernitah Pusat.

Menyadari akan hal ini,  maka kita pun harus kembali bertanya kepada diri kita sendiri, mengapa hal yang baik ini  (agar masyarakat dapat kembali beraktivitas di kampungnya sendiri) belum juga mendapat respons positif dari pemerintah pusat? Bukankah salah satu tugas utama pemerintah adalah menjaga keamanan dan melindungi hak asasi manusia?

Di sini, dialog  yang jujur, adil dan transparan  dalam iklim penuh persaudaraan sejati  menjadi jembatan emas  penyelesaian masalah Nduga yang kronis itu, bukan sebaliknya, mengundurkan diri dari/ atau melepaskan jabatan publik  yang dipercayakan rakyat  kepada kita. Mengundurkan diri bukanlah merupakan jawaban atau solusi yang tepat, jitu,  elegan, cerdas dan  bijaksana!

Politik itu bagaikan sebuah permainan. Masuklah ke dalam permainan ini. Bermainlah dengan tidak main-main agar dapat meraih kemenangan yang bukan main!

*Peter Tukan: Wartawan aktif (1983-2010)

 

 

banner 336x280