Oleh: Nethy DS |
PAPUAinside.com, JAYAPURA— Budaya barter kulit bia di wilayah Pegunungan Tengah Papua yang menjadi alat tukar yang sah sebelum masyarakat mengenal alat tukat uang seperti saat ini, mulai dilupakan. Bahkan sudah jarang dilakukan.
Kulit Bia selain sebagai alat tukar sah, juga sebagai alat perdamaian jika terjadi konflik dalam masyarakat.
Bupati Kabupaten Puncak Jaya Willem Wandik mempromosikan kembali fungsi Kulit Bia dalam budaya masyarakat Pegunungan Tengah khususnya di Kabupaten Puncak, Jumat (28/02/2020) pekan lalu di Ilaga, Ibukota Kabupaten Puncak.
Bupati Wandik mengundang para kepala suku Dani, Damal, Amungme di Timika, Moni di Sugapa Intan Jaya, hadir dalam acara adat mengangkat Kulit Bia.
Acara diawali dengan pembicaraan para kepala suku pada malam hari sambil memperlihatkan kulit bia, keaslian dan nilainya kemudian menentukan kulit bia mana yang akan diangkat menjadi kulit bia tertinggi menepati urutan ke lima dari semua jenis kulit bia yang ada.
Esok paginya (Sabtu 29/02/2020) dilakukan acara bakar batu bersama, lalu masuk dalam tradisi mengangkat kulit bia baru, yaitu dengan nama Karebo, untuk masuk dalam angkatan kulit bia yang selama ini digunakan, menjadi kulit bia tertinggi urutan kelima, yang diberikan kepada Bupati Puncak Willem Wandik, dengan harga Rp 1 miliar.
“Sebelum negara hadir disini, sebelum injil masuk di daerah-daerah ini, sejak nenek moyang kita alat barter saat itu adalah kulit bia, sehingga kulit bia bagi masyarakat Pegunungan Tengah dianggap sebagai harta karun, siapa yang memegang kulit bia, maka dia dianggap sebagai orang besar, ada kebangggan, kehebatan, sebab orang akan datang kepada dia untuk berkomunikasi dalam honay terkait beberapa persoalan sosial yang ada kaitan dengan kulit bia,” ungkap Bupati Wandik, disela-sela acara ritual pengangkatan kulit bia dengan nama Karebo.
Dijelaskan, kulit bia yang ada dalam suku-suku di wilayah Kabupaten Puncak semakin berkurang, tersisa sekitar 100 kulit bia dan dipegang oleh orang-orang tertentu.
Dalam budaya masyarakat suku Dani, Damal, ada beberapa kelas kulit bia, dengan harga tertentu, jika diuangkan dengan nilai mata uang saat ini, berkisar Rp 5 – 500 juta.
Ada lima tingkatan dalam menilai harga kulit bia: Kulit bia Itaniwaga adalah kulit bia kelas satu atau paling rendah, Songgala Wanggala kulit bi akelas dua, Wonggala Wonggala kulit bia kelas tiga, Weawuait kulit bia kelas empat dan Karebo kulit bia kelas lima yang baru diangkat oleh Bupati Willem Wandik menempati urutan teratas dari seluruh kulit bia dengan harga Rp 1 miliar.
Jika memiliki kulit bia Karebo maka pemiliknya memiliki juga kulit bia yang lainnya. ‘’Artinya untuk mendapatkan kulit bia karebo, maka perlu membawa kulit bia kelas dibawahnya ditambah dengan uang dan beberapa ekor babi, baru bisa mendapatkan kulit bia karebo,” jelasnya.
Untuk situasi saat ini, kata Bupati Wandik ada hal-hal positif yang bisa diambil dari budaya barter menggunakan kulit bia.
‘’Ada hal-hal positif yang biasa diambil dari barter kulit bia ini, untuk saat ini, misalnya ada persoalan sosial masyarakat seperti perang suku, kadang pemerintah dan TNI/Polri membutuhkan waktu tenaga dan biaya besar dalam melakukan negosiasi, namun ketika kulit bia yang ternama diambil untuk dikasih ke keluarga korban atau denda kepala, maka persoalan perang langsung aman dan damai kembali,’’ jelasnya.
Pemerintah Puncak, kata Wandik berusaha melakukan pendekatan kearifan lokal budaya, agar mampu menyelesaikan konflik sosial, ekonomi dan budaya, seperti perang yang sering terjadi di Ilaga, Timika beberapa daerah lain di wilayah Pegunungan tengah.
Ke depan, pihaknya akan membentuk satu lembaga adat untuk memberikan legitimasi secara hukum kepada kulit bia ini termasuk akan dipatenkan sehingga ke depan kulit bia memiliki dasar hukum atau semacam sertifikat agar kekayaan budaya ini tetap terjaga sampai generasi mendatang, bahkan jika memungkinkan kulit bia ini bisa diuangkan di bank.
Yulis Kum kepala suku Amungme dari Timika mengaku sangat setuju dengan tradisi angkat kulit bia ini karena ada hal positif yang bisa diambil dari prosesi ini. Orang dari suku-suku ini, akan berhati-hati dalam bertindak misalnya untuk perang suku, melarikan istri orang atau membunuh karena pertimbangan harga bia yang cukup mahal ini.
“Sebelum berbuat masalah orang akan berpikir apakah saya mampu untuk mencari uang untuk membayar kulit bia kepada pihak korban, akhirnya sebelum buat masalah, harus pertimbangkan baik karena kulit bia cukup mahal,’’ jelasnya.
Kapolsek Ilaga, Iptu Menase Sayori, mendukung langkah bupati untuk mengangkat kembali tradisi kulit bia ini, karena ada hal-hal positif yang bisa dipertahankan, untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial budaya di Kabupaten Puncak, salah satunya adalah seperti perang suku, ketika kulit bia hadir sebagai alat barter maka persoalan selesai, kondisi yang semula berperang, akan menjadi damai kembali. ** (sumber: Diskominfo Puncak)