Solusi Damai untuk Papua Terungkap di Acara Sarasehan Nasional

Pangdam XVII/ Cenderawasih Mayjen TNI Herman Asaribab, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw bersama peserta sarasehan nasional bersama pulihkan harmoni Papua di Auditorium RRI Jayapura, Rabu (16/10). (foto: Humas Polda Papua)
banner 468x60

Oleh: Faisal Narwawan|

Papuainside.com, Jayapura – Sejumlah pejabat tinggi hadir dan bersuara dalam kegiatan Sarasehan Nasional dengan tema “Bersama Pulihkan Harmoni Papua”.

banner 336x280

Kegiatan ini digelar Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI) di Aula LPP RRI Jayapura, Rabu (16/10) siang.

Wakil Walikota Jayapura Rustan Saru menyampaikan solusinya, untuk mewujudkan harmoni Papua diperlukan dialog jangka panjang antara Papua dengan pemerintah pusat.

Ia menilai selama ini sudah banyak perhatian dari Pemerintah Pusat bagi Papua, tapi masih perlu komunikasi yang lebih meluas.

“Ini penting untuk mengidentifikasi masalah di Papua dan menjawab persoalan itu sehingga kedepan harmoni itu bisa terwujud sehingga tak ada lagi persoalan kemanusian, politik, rasis dan dapat mewujudkan kerukunan,” ujar Rustan Saru.

Solusi lainnya datang dari Pangdam XVII Cendrawasih, Mayjen TNI Herman Asaribab yang juga mengaku TNI memiliki program pendekatan teritoria sehingga bisa melihat fakta di lapangan dan bisa langsung mengambil keputusan.

“Keputusan yang mungkin level kebijakan atau mungkin level teknis. Seperti kejadian di Wamena, level kebijakan Panglima TNI sudah berikan fasiltias hercules bagi warga disana.

Berbicara masalah Papua pasti banyak sudut pandang yang berbeda. Tapi yang jelas tujuannya sama yakni ingin membangun kembali harmoni di Papua. ‘’Jadi berbicara masalah Papua yang pertama adalah masalah keamanan dan metode pendekatan yang digunakan,” jelas Pangdam Asaribab.

Kapolda Papua, Irjen Pol Paulus Waterpauw juga memandang perlunya blusukan sebagaimana yang dilakukan dirinya di Wamena.

“Buat apa jadi pejabat kalau tidak pernah bersentuhan dengan masyarakat di bawah. Ketika ada problem atau sebelum ada problem kita harus sentuh langsung kepada masyarakat yang mungkin merindukan sosok-sosok pemimpin itu,” ungkap Kapolda Paulus Waterpauw.

Bicara mengenai problem Papua, ia melihat dari sisi penyelenggara yang menurutnya jika mereka bekerja dengan sungguh-sungguh maka tak perlu khawatir soal masalah Papua.

“Pemda, DPR dan MRP yang terdiri dari tiga komponen, adat, perempuan dan agama. Kalau tiga komponen ini bekerja dengan sungguh-sungguh, kita yang lain tidur saja tidak usah repot.

Karena itu perannya. Bicara tentang sebuah program ada disini. Bicara tentang anggaran juga ada, terus masyarakat sekarang mengeluh melempar persoalan ke pusat, lalu apa fungsi penyelenggara disini,” tegas Paulus.

Ia juga meminta tak boleh lagi ada teriakan ke pusat padahal di Papua ada penyelenggara.

“Kuncinya ada di penyelenggara negara, mau bicara soal adat kah, sosial kah, persoalan ekonomi, nasionalisme atau lainnya itu ada di penyelenggara. Jadi seorang pemimpin itu harus memiliki jiwa pancasila yang sejati. Masyarakat akan contohi dan teladani pemimpinnya,” tegasnya lagi.

Dari kelompok akademisi sekaligus keagamaan, Rektor IAIN Fattahul Muluk, Dr. H. Idrus Alhamid, S.Ag, M.Si menuturkan, fenomena di Papua yang diberitakan selama ini harus direkonstruksi dengan paradigma yang betul-betul menyentuh aspek adat.

Artinya polarisasi kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang tidak ada pada daerah lain. Pendekatan yang paling humanis khusus di Papua adalah pendekatan adat. Karena fakta bahwa adat itu lahir bersamaan dengan lahirnya manusia,” katanya.

Hal ini senada dengan yang disampaikan Kepala Suku Lapago, Malaekat Alfius Tabuni. Ia berpendapat, pendekatan adat sangat penting untuk membangun kembali harmoni Papua.

“Papua miniatur Indonesia. Jadi kalau Papua damai Indonesia damai. Kami minta Presiden RI menggelar dialog atau duduk bersama pasca dilantik dengan seluruh elemen masyarakat di Papua,” katanya.

Sementara Bupati Mamteng, Ham Pagawak sebagai Wakil Ketua Asosiasi Bupati Pegunungan menyatakan,seluruh orang Papua harus melakukan pemulihan dari Papua, bukan diundang ke Jakarta mewakili ras, suku atau agama.

“Masalah di Papua tidak bisa dibicarakan di Jakarta. Bicarakan di Papua setelah itu baru minta Presiden untuk menanggapi,” singkatnya.

Konflik di Papua muncul menurut  tokoh agama, Pendeta Fredy Toam karena nilai dasar secara nasional mulai lama ditinggalkan dan orang mulai menganut nilai-nilai baru. “Sehingga muncul perbedaan dan lahirlah konflik,” katanya.

Disampaikan, banyak kelemahan terjadi di Papua, adat sudah lemah, agama dibentur-benturkan.

“Artinya ada ancaman bagi negara dari dalam, karena itu kembalikan posisi Indonesia kepada nilai-nilai dasar Pancasila,” tegasnya lagi.

Selain itu, LSM Perempuan, Rori Marwani Ehha mengungkapkan, harmoni di Papua harus diwujudkan bersama dan perlu keterlibatan kaum wanita.

“Perempuan ada dibalik layar setiap laki-laki. Perempuan punya peran besar untuk mengembalikan harmoni di Papua. Sebenarnya mereka saat ini juga paling merasakan apa yang terjadi saat ini. Jadi tempatkan perempuan Papua di posisi yang penting dalam memulihak kembali harmoni Papua,” katanya. **

 

 

banner 336x280