Oleh: John NR Gobai (*)
Pengantar
Sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) bagi Provinsi Papua telah diamanatkan dibentuk Pengadilan HAM atau Pengadilan Hak Asasi Manusia di Papua. Namun hingga kini belum dibentuk.
Kini ada tiga kasus pelanggaran HAM berat di Papua, yaitu kasus Wamena, Wasior dan Paniai. Ketiga kasus pelanggaran HAM berat ini harus diselesaikan pemerintah.
Pengadilan HAM di Papua
Keberadaan Pengadilan HAM di Papua dinilai penting, agar masyarakat luas dan publik Papua bisa mengikuti proses peradilan terhadap kasus yang terjadi di Paniai.
Karena mengikuti proses langsung itu bagian dari memberi kepastian hukum, baik bagi warga Papua maupun keluarga korban. Masyarakat harus terlibat dan menyaksikan langsung proses peradilan dengan mata kepala sendiri.
Selain itu, jika Pengadilan HAM dibuka di Papua memudahkan para saksi bisa dihadirkan tanpa mengeluarkan banyak energi dan juga biaya.
Mekanisme pembentukan Pengadilan HAM di Papua bisa bersatu dengan Pengadilan Negeri Jayapura. Apalagi hal itu sudah dilakukan dengan membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Jayapura.
Penetapan kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat telah menambah jumlah kasus yang sama di Papua, yang sudah ditetapkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Dua kasus sebelumnya mengendap di Kejaksaan Agung, yakni kasus pelanggaran HAM berat Wasior dan Wamena.
Analisa Regulasi
Sejak ditetapkannya UU Otsus Papua, pemerintah belum membentuk Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sesuai Pasal 45 Ayat 2 UU Nomor 21 Tahun 2001.
Hal ini juga terjadi karena dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM belum diatur tentang pembentukan Pengadilan HAM. Padahal salah-satu tempatnya harus di Papua sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2001, tapi berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 45 Ayat 1, UU No 26 Tahun 2000, frasa “untuk pertama kali” menunjukkan bahwa pembentukan Pengadilan HAM bukan bersifat statis, tapi fleksibel. Sehingga dengan adanya UU yang dibentuk kemudian seperti UU No 21 Tahun 2001, maka seharusnya dengan Keputusan Presiden (Kepres) dapat dibentuk Pengadilan HAM di tempat yang lain dalam hal ini di Jayapura untuk Provinsi Papua.
Penutup
Pemerintah pusat sesuai dengan kewenangannya mesti mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Papua.
Dalam rangka itu, kami berharap DPR RI dan DPD RI dapat juga mendorong dan mendesak pembentukan Pengadilan HAM di Papua.
Diketahui, Komnas HAM menetapkan kasus Paniai pada 2014 lalu merupakan kasus pelanggaran HAM berat.
Keputusan ini didasarkan pada temuan Tim Ad Hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai, dan diputuskan dalam sidang paripurna.
Kasus Paniai berawal pada malam 7 Desember 2014 di Enarotali, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua.
Kasus yang dikenal dengan kasus Paniai berdarah ini menyebabkan 4 warga sipil meninggal dunia dan belasan luka-luka. **
(*) Sekretaris II Dewan Adat Papua (DAP).