Oleh: Frans Maniagasi**
Pada 2 Oktober 2021 ini PON 20 akan dilaksanakan di Papua, dan dibuka oleh Presiden Joko Widodo. Lokasi penyelenggaraan PON di-empat klaster yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Mimika, dan Merauke. PON Papua memiliki makna istimewa.
Keistimewan itu tidak saja PON baru pertama kali diselenggarakan di Papua, wilayah paling Timur Indonesia, tapi juga dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia setelah 76 tahun merdeka.
Artinya, PON di Papua tidak saja menjadi ajang prestasi olah-raga para atlet yang meraih medali tapi ajang pembuktian prestasi Indonesia dalam membangun Papua. Sehingga “prestasi pembangunan” Papua bukan saja menjadi bukti kepada publik dalam negeri tapi juga kepada dunia internasional bahwa Pemerintah Indonesia serius dan sungguh – sungguh membangun Papua. Meskipun, disana sini masih terdapat kekurangan bahkan dalam satu dekade terakhir ini diwarnai oleh konflik dan kekerasan di Papua.
Masalah Papua bukan soal kemiskinan tetapi eksklusi social dalam berbagai hak – hak dasar seperti politik, keadilan dan pemerataan. Maka lewat momentum PON Papua dan terutama setelah UU Otsus direvisi dengan berbagai penjabaran Peraturan Pemerintahnya menjadi arena PON pembangunan dimulainya perubahan paradigma dan pendekatan terhadap Papua yang bercorak sociental yang inklusif sehingga menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat asli yang terpinggirkan.
PON yang berorientasi pada pembangunan fisik seperti stadion dan venue disatu sisi merupakan penyediaan sarana dan fasilitas fisik guna menunjang penyelenggaraan kegiatan olah raga tapi disisi lain pembangunan fisik itu mesti menunjukan dampak positif yang signifikan terhadap partisipasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal. Tanpa adanya manfaat ini maka PON tanpa makna.
PON menjadi salah satu momentum pendistribusian sasaran pembangunan yang digalakan secara serius oleh pemerintahan Presiden Jokowi melalui pembangunan infrastruktur terutama keluar Jawa. Fokus pada pemerataan pembangunan keluar Jawa melalui event PON di Papua dalam jangka pendek menjadi starting point pembangunan yang mestinya berorientasi pada sociental yang inklusif bukan hanya pada aspek fisik.
Namun realitas di lapangan menunjukkan genggaman proyek PON dari pembangunan stadion, venue hingga suplai berbagai kebutuhan PON masih dikuasai oleh jaringan kolaboratif transaksional pengusaha Jakarta dan dielite birokrasi dan kekuasaan didaerah tanpa memberikan peluang kepada masyarakat lokal. Hal ini memperlihatkan PON belum dapat mengubah tren “Jakartasentris” dan belum menunjukkan pengalihan arus uang secara signifikan keluar dari Jakarta.
Pada tataran ini menurut pendapat saya aksi protes masyarakat Papua mulai dari ganti rugi tanah adat mereka yang digunakan untuk pembangunan sarana dan fasilitas PON hingga penyediaan catering dan konsumsi untuk para peserta PON sampai kasus noken mama Papua sebagai souvenir menunjukkan tidak tercapainya satu sistem transformasi keuangan keluar Jakarta – dalam hal ini ke Papua. Protes masyarakat lokal yang mencolok itu menunjukkan belum adanya political will dalam upaya transformasi pemerataan dan pengentasan kemiskinan diwilayah ini.
Selain itu realitas yang dipertontonkan dengan transaksi kolaboratif menunjukkan perlakuan minoritas yang masih menguasai “mayoritas” yang mesti memperoleh manfaat dari event PON. Akibat dari realitas ini memperlihatkan sebagian besar masyarakat Papua tidak antusias menyambut PON bahkan ada yang pesimistis.
Padahal menurut pendapat saya ada tiga hal yang penting dari penyelenggaraan PON di Papua. Ketiga hal tersebut adalah, pertama, PON sebagai ajang prestasi olah raga antar daerah – antar atlit sehingga memiliki dampak ekonomi dan sosial kepada masyarakat Papua pada gilirannya memupuk rasa kebangsaan (national building ke Indonesiaan) dan pergaulan dan memperkuat persatuan sesama anak bangsa.
Kedua, realitas ekonomi politik yang timpang sebagai akibat dari sistem transaksi kolaboratif dalam pembangunan sarana fisik hingga tidak memberikan peluang untuk partisipasi Orang Papua dalam ekonomi PON menunjukkan event olahraga nasional ini kurang memberikan efek positif bagi peningkatan pendapatan masyarakat. Ketiga, pada hal negara telah hadir untuk mendukung dan menopang penyelenggaraan PON yang ditunjukkan dengan alokasi Dana APBN yang besarnya sangat fantastik. Terlepas dari keterlambatan pencairan dana PON yang sebenarnya juga merupakan kelalaian dari Panitia pada awal mengajukan usulan proposal anggaran.
Tiga hal ini merupakan tekad dan kampanye Pemerintah untuk mewartakan kepada publik Indonesia dan juga masyarakat dunia akan sukses stori kemajuan pembangunan Papua oleh pemerintah. Sesuai amanat Presiden Jokowi tatkala menerima PB PON bahwa penyelenggaraan PON di Papua tidak saja menjadi ajang peningkatan prestasi olah raga para atlit tapi sekaligus mesti memberikan manfaat yang signifikan kepada ekonomi sosial masyarakat Papua. Amanat ini seyogyanya tidak dikotori oleh kepentingan pragmatisme dan keserahkan serta nafsu sesaat akibat transaksi kolaboratif yang cendrung memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.######
** Frans Maniagasi/ Pengamat Politik Lokal Papua.