Oleh: Ignas Doy I
PAPUAInside.com, JAYAPURA—Pesawat Mission Avition Fellowship (MAF), yang jatuh dan menewaskan pilot Joice Lin di Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Selasa (05/05/2020) sekitar pukul 06.26 WIT, meninggalkan duka yang mendalam, khususnya bagi lembaga gereja di Provinsi Papua yang dilayani MAF.
“Keluarga besar GIDI khusus dan gereja- gereja di Tanah Papua pada umumnya kami menyampaikan turut berduka cita atas meninggalnya pilot MAF,” ucap President Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pdt. Dorman Wandikbo, MA di Jayapura, Selasa (12/05/2020).
Pesawat MAF type Kodiak PK-MC K-100 tersebut take-of dari Bandara Sentani Jayapura hendak terbang ke Kampung Mamit, Distrik Kembu, Kabupaten Tolikara, membawa bahan makanan, obat-obatan dan Alat Pelindung Diri (APD), untuk membantu pasien Covid-19.
Meski pilot Joice Lin belum lama melayani jemaat di wilayah Papua sejak 28 November 2020 lalu, ujar Dorman, tapi pelayanan yang ia berikan sungguh menolong gereja di Papua. “Kami gereja sungguh merasa kehilangan,” ucapnya.
Pesawat Perintis di Papua

Menurut Dorman, MAF adalah perintis penerbangan di daerah pegunungan dan daerah pantai di Provinsi Papua sejak tahun 1954 silam.
MAF mempunya visi jelas yakni membawa kabar baik dengan pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan dan memberitakan injil Kristus.
Ia mengakui, MAF memang pernah mengalami kecelakaan kecil, seperti masuk lapangan kecil kemudian tergelincir dan lain –lain-Tapi peristiwa yang dialami pilot Joice Lim adalah kecelakaan pertama yang dialami MAF selama 34 tahun terakhir ini.
“Kami selalu percaya karena MAF teliti dan segala macam cara yang dilakukan sebelum terbang. Kejadian ini di luar dugaan kami,” katanya.
Dikatakannya, MAF pertama kali mendarat di Danau Arsbol, Kampung Arsbol, Distrik Eragayam, Kabupaten Mamberamo Tengah pada 20 Maret 1955 silam.
Ia menjelaskan, kru MAF dan misionaris tinggal selama 14 bulan di Arsbol. Kemudian 1 Mei 1956 bergeser ke Bogondini dan berkumpul bersama badan misi yang dilayani oleh MAF yakni APCM dari Australia, RBMU dari Kanada dan UFM dari Amerika Serikat. Kemudian ABMZ juga dari Australia.
Dari Bogondini MAF membagi pelayanan khusus di wilayah GIDI yakni ABMZ, daerah Tiom sekarang Gereja Baptis, kemudian UFM mereka masuk ke wilayah Ilu dan Mulia Kwiyawagi sekarang wilayah Yamo.
Kemudian RBMU mereka masuk ke wilayah Toli yang sekarang dia mau terbang ke Mamit baru jatuh ini adalah wilayah pelayanan RBMU dan ABCM Australia di daerah Arsbol dan Bokondini. “Jadi mereka memulai dari 57 tahun yang lalu pelayanan di wil Pengunungan ini jalan hingga hari ini,” tukasnya.
Pilot Misionaris

Dorman menjelaskan, hampir semua pilot MAF adalah misionaris. Mereka menyelesaikan SMA langsung masuk kuliah Sekolah Alkitab. Lalu masuk jurusan masing masing seperti mekanik, pilot dan ada yang langsung jadi misionaris. Mereka datang ke Papua menjadi konsultan dan lain–lain.
“Ada yang jadi misionaris langsung, tapi ada yang lanjut jadi pilot dan lain lain. Jadi hampir rata- rata semua pilot MAF itu mereka semua sudah lewati jejak pendidikan theologi,” ucap Dorman.
Hanya saja ujarnya, pihaknya kesulitan, karena tenaga asing yang melayani baik itu pilot, guru HIS maupun tenaga penjemah Al Kitab susah mendapatkan visa untuk melayani di tanah Papua. Hal ini menjadi salah –satu hambatan untuk penerbangan daerah pedalaman.
Padahal daerah – daerah yang sangat terpencil ini membutuhkan MAF. “Kami gereja lebih banyak memakai jasa MAF, karena tarif penerbangan dari dulu sampai sekarang stabil,” terangnya.
MAF beda dengan pesawat sejenis, yang memakai tarif komersial dari Bandara Sentani menuju Daerah pengunungan habis biaya certeran Rp 75 juta keatas satu kali terbang. “MAF adalah satu – satunya pesawat yang menolong kami gereja di Papua,” imbuhnya. **