Oleh: Ambassador Freddy Numberi
Founder Numberi Center
Nieuw-Guinea (NG) atau Papua dijuluki oleh orang Belanda sendiri yang tidak setuju dengan politik Belanda zaman dulu di Hindia Belanda adalah “Vietnamnya” Belanda (Ben Koster, 1991:h.7). Alasannya, karena akibat ulah politik Belanda sendiri terjadi pergolakan dan konflik yang berlarut-larut selama 13 tahun (1949-1962) serta melibatkan Amerika Serikat (AS), Uni Soviet (US), Inggris, Australia dan PBB.
Selama kurang lebih 121 (seratus dua puluh satu) tahun sejak Belanda pertama kali menginjak kakinya di bumi Cenderawasih tanggal 28 Agustus 1928 sampai dengan pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 27 Desember 1949 Belanda sangat minim perhatiannya terhadap koloni NG ini (Justus Maria Van Der Kroef,1958:h.12).
Koloni NG awalnya hanya tempat pengasingan (interneringskamp) bagi kaum pemberontak nasionalis Indonesia yang di cap extremis oleh Belanda termasuk mereka yang komunis dari Jawa. Tercatat ada 1400 tahanan yang dibuang ke Boven Digul, Tanah Merah sebelum Perang Dunia-II (PD-II) anta lain: Bung Hatta, Sultan Syahrir, IFM Salim, Mayor Dimara dll (Tarmidzy Thamrin,2001:h.184; lihat juga Dr.J.V. de Bruin, 1978:h.331). elama PD-II, tanah Papua menjadi pijakan strategis pasukan sekutu, setelah tanggal 26 April 1944 lapangan terbang Sentani di Jayapura (Hollandia) dikuasai pasukan sekutu. Dari Jayapura, Jendral Mac Arthur dengan strategi lompat katak (leap frog strategy) dari Jayapura, ke Wakde (Sarmi), Ke Biak (Pulau Owi) dan terus ke Filipina lewat Morotai (Freddy Numberi, 2009: h.26).
Dari aspek ekonomi, tanah Papua kurang menghasilkan bagi pemerintah kolonial Belanda, kecuali minyak bumi yang mulai di explorasi maupun exploitasi oleh Nederlandsche Nieuw-Guinee Petroleum Maatschappij (N.N.G.P.M). NNGPM ini didirikan oleh dua perusahaan raksasa minyak pada waktu itu yaitu Koninklijke-shellgroep (BPM termasuk didalamnya) dan Standard Vacuum Oil Company (Caltex group) (Drs.H. Eggink,1956:h.41). Sejak awal NNGMP didirikan 23 Mei 1935, pihak Amerika Serikat (AS) dalam hal ini Allen Dulles sebagai Director of Central Intelligence (DCI) sudah terlibat. Sejak menjabat advokat internasional di Paris, sudah bekerja untuk Standard Oil milik Rockefeller dan bertugas mengatur perusahaan patungan NNGPM.
Setelah terjadi depresi besar, otoritas Hindia Belanda akhirnya menolak Standard Oil dan bergabung dengan Inggris (shell) dimana Inggris memiliki saham 60% dan Royal Ducth Shell 40% (BPM) dan mulai beroperasi di Papua sejak tahun 1935. (Greg Poulgrain,2007:h.1-2)
Di NNGPM sendiri masih ada perbedaan antara pekerja orang Asia dan non-Asia.
“ De authochtonen (Pribumi Papua) vielen tezamen met de Indonesiers in de Aziatische sector, maar ervoeren hier weer veelal dezelfde moeilijkheden als voorheen in het overheidsapparaat, waar de Indonesische kleine ambtenaar, een moelijk doodringbare tussenlaag vormden tussen Europeanen en autochtone (pribumi Papua) bevolking”. (C.S.I.J. Lagerberg,1962:h.38)
Terjemahan bebas:
“Pribumi Papua dikelompokan bersama orang Indonesia dalam sektor Asia, namun tetap mengalami kesulitan yang sama seperti pada aparatur pemerintahan, dimana pejabat kecil orang Indonesia sulit menentukan kepentingan pribumi Papua dibandingkan orang Eropa”.
Disini terlihat jelas bahwa politik Belanda yang membedakan antara pribumi Papua termasuk orang Indonesia sangat kental (diskriminasi). Hal ini membuat pekerja Papua maupun pekerja Indonesia yang di NNGPM sakit hati.
Setelah konflik Indonesia dengan Belanda sejak KMB 1949 dan Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan sendirinya Belanda kehilangan wilayah yang menjadi tumpuan ekonominya yaitu Hindia Belanda untuk selamanya. Dengan kehilangan Hindia Belanda, barulah Belanda dengan segala macam trik politiknya berusaha mempertahankan koloni Nieuw Guinea (Papua).
Sejak Indonesia mengajukan masalah Papua ke PBB mulai tahun 1955 hingga tahun 1957 selalu gagal. Hal ini membuat Soekarno “berang” dan mengambil langkah-langkah drastis dalam pengembalian Papua ke Indonesia. Pada Tahun 1955, Belanda baru memacu pendidikan di Papua, dimana pada tahun itu terdapat 576 Sekolah Dasar, dengan 973 tenaga guru dan 3072 murid, 8 Sekolah Menengah dengan 47 tenaga guru dan 956 murid. Pada tahun yang sama ada 55 tenaga dokter yang bekerja di Papua, terdapat 242 perawat yang lulus sekolah perawat bekerja di 95 rumah sakit dan klinik, serta terdapat 1.150 tempat tidur pada rumah sakit maupun klinik tersebut. Dan semua ini berada pada pesisir Nieuw Guinea. (Justus Maria Van Der Kroef,1958:h.12)
Pada akhir tahun 1956, Belanda baru berusaha untuk massuk ke pegunungan tengah Papua dan membangun pos pemerintahan awal di Enarotali, sekitar 300 km ke arah barat danau Wissel. Pada bulan September 1956, direncanakan untuk mendirikan pos pemerintahan di lembah Baliem. (Pim Schrool, 1997:h.61)
Pada tahun 1960, baru ada 3 (tiga) pribumi Papua yang belajar di Universitas Belanda, diantaranya Frits Kirihio yang mendirikan partai “Parna” (Partai Nasional) di Jayapura. (C.S.I.J. Lagerberg,1962:h.197)
Kalau dihitung sejak Injil masuk Papua 5 Februari 1855 dan dibukanya sekolah guru di Miei, maka setelah 105 tahun (1855-1960) Belanda berada di Papua, Orang Asli Papua yang berpendidikan setingkat universitas hanya 3 (tiga) orang, dimana Frits Kirihio memberontak dulu di Manokwari baru dikirim ke Universitas Leiden di Belanda. Sangat ironis!
Belanda dengan keinginan untuk terus bercokol di NG dan menggunakan alasan bahwa NG adalah sebuah tanah yang “primitif” dan di diami oleh “Stone Age People” (Manusia yang Hidup di Zaman Batu), sehingga Belanda lebih cocok untuk berada di NG dibandingkan Indonesia. Disamping itu dalam peremuan-pertemuan di PBB, Belanda menggunakan Article 73 dari Piagam PBB, Bab 11: “as a sacred trust the obligation to promote to the utmost . . . the well being of the inhabitants of these (non self governing) territories, because the Netherlands, as one Dutch writer puts it, has always stood in the front ranks of the colonial powers, ready to apply its acquired wisdom for benefit of the territories and peoples of its colonies”. (Justus Maria Van Der Kroef, 1958:h.11)
Menurut pakar hukum tata negara Belanda, Prof. Mr. B. V. Roling, pertikaian masalah NG (Papua) bukan persoalan teritorial belaka, namun ini merupakan persoalan dunia internasional yang membutuhkan jawaban secara yuridis (hukum). NG adalah persoalan kolonial, kemerdekaan dan likuidasi sisa-sisa “colonial rule” disamping itu bila menolak (weigeren) kemerdekaan orang Papua adalah “crime against humanity”. Kekuasaan kolonial selalu berlindung dibalik tugas suci, dan itu terungkap “In fact, the argument of a mission sacred are the typical arguments of colonialism”. (B. V. Roling, 1958:h.52)
Prognosa yang dibuat Dr. J. G de Beus dengan mengamati berlarut-larutnya persoalan Papua (NG) di PBB, berpendapat bahwa sanksi yang mungkin diambil oleh pihak pemerintah Indonesia dalam hal ini Presiden Soekarno terhadap Belanda, adalah:
- Pemanggilan kembali Dubes Indonesia untuk Belanda;
- Memutuskan hubungan diplomatik Indonesia-Belanda;
- Blokir semua kredit-kredit Belanda untuk Indonesia;
- Embargo terhadap suplai senjata kepada Belanda oleh negara-negara sekutu (NATO);
- Pemberhentian bantuan untuk Belanda dari “Marshall Plan” dalam rangka recovery setelah P.D-II berakhir;
- Blokir semua rekening Belanda di luar negeri yang berhubungan dengan Indonesia;
- Melumpuhkan (lamleggen) pelayaran Belanda KPM dan penerbangan Belanda KLM
- Embargo terhadap keluarnya barang-barang baik ke Belanda maupun Indonesia;
- Boikot terhadap produk-produk Belanda.
- Sanksi militer oleh Indonesia terhadap Belanda. (de Beus, 1977:h.138-139)
Prediksi de Beus ini benar, bahwa semua sanksi dilaksanakan Indonesia kecuali bantuan “Marshall plan” tidak di blokir. Akhirnya dengan tekanan militer Belanda mau menandatangani New York Agreement pada tanggal 15 Agustus 1962 dan Operasi Mandala (Trikora) dihentikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1962.
Jakarta 5 Oktober 2021