Oleh: Dominggus Marei, MSi (*)
PEMUNGUTAN Suara Ulang (PSU) Pemilihan Gubernur Papua tahun 2025 bukan sekadar pengulangan teknis pemilu, tetapi menjadi panggung penentuan terakhir dalam kontestasi demokrasi yang penuh dinamika. Setelah hasil putaran pertama menuai polemik dan gugatan, putaran kedua ini menjadi momentum bagi rakyat Papua, untuk menentukan arah masa depannya.
Namun di balik sorotan media dan dinamika politik antar-elit, ada satu elemen penting yang sering kali terabaikan: pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya di putaran pertama—atau yang kerap disebut sebagai golongan putih (golput).
Data dari KPU menunjukkan bahwa pada Pilkada Papua putaran pertama, 27 November 2024, terdapat 214.916 pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), namun tidak menyalurkan hak suaranya.
Jumlah ini setara dengan 28,75 persen dari total DPT Papua yang mencapai 747.663 jiwa. Angka ini tentu menjadi refleksi atas tantangan partisipasi politik, sekaligus potensi kekuatan politik tersendiri di putaran kedua.
Sebagai mantan komisioner KPU dan pengamat pemilu, saya melihat bahwa dalam kontestasi yang sangat ketat—dengan selisih suara hanya sekitar 7.193 suara (kurang dari 2%) antara kedua paslon—kelompok pemilih putih ini bisa menjadi penentu utama kemenangan.
Distribusi suara golput juga tidak merata, tetapi terkonsentrasi di wilayah-wilayah strategis. Di Kota Jayapura, misalnya, tercatat sekitar 83.321 suara golput. Di Kabupaten Jayapura terdapat 52.741 suara, sementara di Kabupaten Biak terdapat 37.057 suara dan Kabupaten Yapen ada 22.653 suara yang belum digunakan.
Dengan angka sebesar ini, siapa pun pasangan calon yang berhasil meyakinkan pemilih golput, untuk datang ke TPS akan memiliki peluang besar untuk unggul. Faktor-faktor seperti kekuatan mesin partai, dukungan elite lokal, serta narasi identitas tentu tetap berperan.
Namun, merebut suara kelompok yang apatis atau pasif pada putaran pertama adalah tantangan sekaligus peluang strategis, yang harus dimanfaatkan secara cerdas dan etis.
Pertanyaan publik tentu mengarah pada satu hal: siapa yang lebih berpeluang menang? Jawaban saya, keduanya—karena kedua pasangan calon merupakan putra terbaik Papua. Mereka lahir, tumbuh, dan mengabdi untuk tanah ini. Biarlah rakyat Papua yang menilai dan menentukan, melalui hak pilih yang bebas dan bertanggung jawab. PSU bukan hanya tentang siapa menang dan kalah, tetapi tentang bagaimana demokrasi dimaknai secara utuh.
Dalam konteks Papua, suara yang diam pada putaran pertama bisa menjadi suara yang paling menentukan. Dan di sanalah misteri kemenangan itu berada. **
(*) Dosen, Mantan Komisioner KPU, dan Pengamat Pemilu di Papua