Oleh: Peter Tukan*
BERJUANG untuk mendapatkan calon bupati (Cabup) dan calon wakil bupati (Cawabup) harus Orang Asli Papua (OAP) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Papua bagaikan sebuah perjalanan panjang yang melelahkan, penuh lika-liku yang membutuhkan kesabaran, kecerdasan dan kebijaksanaan, lantaran berjuang untuk mencapai cita-cita dan harapan itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, bukan tiba hari-tiba akal serta bukan pula hasil sebuah mimpi semalam suntuk.
Berjuang untuk mendapatkan gubernur dan wakil gubernur Papua harus OAP sudah berhasil dengan sangat gemilang dengan lahirnya UU Otonomi Khusus (Otsus) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang pemberlakuannya terhitung mulai tanggal diundangkannya, 21 November 2001.
“Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah warga Negara Republik Indonesia dengan syarat orang asli Papua (Psl 12. a).
Sayangnya, UU Otsus ini tidak menyebutkan yang dapat menjadi Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota adalah warga Negara Republik Indonesia dengan syarat orang asli Papua. Karena itu, apabila ingin mendapatkan bupati dan Wabup OAP, kita harus berjuang untuk mendapatkan UU yang mengatur hal itu.
Melalui sebuah media cetak lokal yang terbit di Jayapura edisi Sabtu (4/4), tokoh intelektual dan politikus Kabupaten Keerom, Kundrat Gusbager dan Nahor Sibiar mengungkapkan, meski dalam UU Otsus pasal 12, disyaratkan OAP hanya gubernur dan wakil gubernur, namun pihaknya berharap untuk pemilihan bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota bisa juga diprioritaskan untuk Orang Asli Papua, termasuk di Keerom.
Mereka melihat ada dinamika yang terjadi, dimana para tokoh adat Keerom melakukan seruan, bahwa pemilihan kepala daerah itu harus anak asli Keerom. Selain itu, MRP Papua maupun MRP Papua Barat juga telah mengeluarkan keputusan dan menyampaikan ke KPU RI untuk Pilkada harus OAP.
(Perhatikan secara cermat, satu kalimat usulan di atas yaitu, “harus anak asli Keerom”. Jadi, bukan mengatakan harus OAP, walaupun anak asli Keerom adalah dengan sendirinya dia OAP, tetapi OAP belum tentu asli Keerom. Jika usulan ini diterima, berarti harus melahirkan satu UU baru lagi yang mengatur bahwa untuk Bupati dan Wabup di Kabupaten Keerom, yang bersangkutan haru anak asli Keerom, bukan anak asli kabupaten lain di Tanah Papua).
Dua politisi Keerom ini berharap (masih menurut media tersebut), kiranya Pemprov Papua menyampaikan hal ini kepada Presiden agar bisa menyikapi aspirasi ini dengan melahirkan Perpres atau Perppu sehingga aspirasi ini dapat terwujud pada Pilkada nanti. Begitu juga mereka berharap kepada parpol agar memberikan rekomendasinya kepada calon OAP demi menjaga hak kesulungan dalam pesta demokrasi siklus politik lima tahunan ini.
Kritis, Benar tetapi tidak emosional
Memperjuangkan aspirasi politik untuk mendapatkan kepala daerah putra asli setempat di dalam alam demokrasi sekarang ini, adalah hal yang wajar dan lumrah, bukan sesuatu yang tabu. Namun ketika memperjuangkan hal itu, kiranya kita harus memiliki sasaran yang tepat dengan cara yang benar, tetap kristis serta tidak emosional.
Jika perjuangan itu akhirnya tidak berhasil, maka anggaplah kegagalan ini sebagai keberhasilan yang tertunda, bukanlah suatu kiamat politik, serta tidak perlu stres sampai “ jantungan”, dan tidak perlu saling bermusuhan hingga ke liang lahat.
Realitas politik hari ini adalah dunia – termasuk Indonesia, sedang dilanda pandemi Covid-19 yang mematikan. Hal ini akhirnya mengharuskan pihak-pihak berkompeten seperti DPR, Pemerintah dan KPU dengan sangat terpaksa menunda proses Pilkada serentak tahun 2020. Komisi II DPR meminta Pemerintah untuk segera menyiapkan payung hukum berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait penundaan pesta demokrasi itu.
Sebelumnya, KPU telah menunda beberapa tahapan Pilkada akibat virus Corona seperti pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS), pencocokan dan penelitian data pemilih serta verifikasi bakal calon perseorangan.
Dengan ditundanya proses Pilkada serentak tersebut, maka sebenarnya, usulan dua politisi Kabupaten Keerom, Kundrat Gusbager dan Nahor Sibiar di atas agar Presiden melahirkan Perppu sehingga aspirasi rakyat Keerom dapat terwujud pada Pilkada nanti masih dapat diperjuangkan.
Siapa tahu, dengan berjuang mati-matian di tingkat lokal dan nasional, akhirnya akan lahir satu pasal khusus di dalam Perppu itu yang mengatur cabup dan cawabup di Papua harus OAP dan lebih khusus lagi, cabup dan cawabup Keerom harus anak asli Keerom.
Pertannyaan cerdas adalah, setelah atau sebelum dua politisi Keerom ini memberikan keterangan persnya, siapa atau kelompok mana yang saat ini berjuang untuk hal ini hingga ke Jakarta agar Perppu tentang Pilkada yang akan lahir nanti dapat mengakomodir keinginan dan harapan agar bupati dan cabup di Papua harus OAP atau harus anak asli Keerom? Jika kita hanya sampai pada memberikan keterangan pers, tetapi tidak ditindaklanjuti dengan perjuangan nyata untuk mencapai harapan ini, maka kita akan disebut “NATO” : No Action – Talk Only!
Agar perjuangan meraih kesuksesan untuk mendapatkan cabup dan cawabup harus OAP atau harus anak asli Keerom, maka beberapa catatan dan pertanyaan kritis di bawah ini patut disimak.
Pertama: Keinginan untuk mendapatkan bupati dan wakil bupati harus OAP, bukanlah keinginan yang baru muncul pada proses Pilkada 2020 ini namun telah beberapa kali pesta demokrasi Pilkada yang digelar tahun-tahun yang lalu, keinginan ini sudah ada di dalam sanubari masyarakat Papua terutama para politisi OAP. Namun, hingga tahun 2020, keinginan itu belum terwujud. Hal itu antara lain disebabkan oleh ketidaksungguhan kita memperjuangkan cita-cita ini dan walaupun sudah berjuang, namun perjuangan itu tidak berkesinambungan. Ketika kita hendak memasuki musim Pilkada, barulah mulai berjuang. Habis Pilkada, habis pula semangat dan perjuangan itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perjuangan untuk mendapatkan bupati dan wabup OAP selama ini adalah sebuah perjuangan musiman.
Kedua: Terdapat beberapa politisi di kabupaten tertentu menggelorakan perjuangan untuk mendapatkan cabup dan cawabup OAP, lantaran mereka tidak suka terhadap calon yang bukan OAP. Jika berjuang dengan motivasi demikian, maka perjuangan itu tidak akan berhasil. Sebaliknya, kita berjuang untuk mendapatkan bupati dan wakil bupati OAP karena motivasi kita untuk meletakkan fondasi perpolitikan yang kuat dan permanen di Tanah Papua yaitu menjadikan OAP “tuan di negeri sendiri” sekaligus pengakuan riil akan “hak kesulungan OAP” itu sendiri.
Patut dicatat baik-baik, bahwa perjuangan politik untuk mendapatkan bupati dan wakil bupati OAP, hendaknya tidak didasarkan atas rasa suka atau tidak suka, senang atau tidak senang pada seseorang atau kelompok orang tertentu, tetapi harus atas dasar motivasi yang tulus dengan tujuan jangka panjang seribu tahun ke depan bagi kemaslahatan seluruh lapisan masyarakat orang asli Papua terutama demi anak-cucu kita OAP yang harus tetap menjadi “pewaris sah bumi Cenderawasih” yang memiliki “hak kesulungan” yang tidak dapat dipindahtangankan!
Kita yang hidup hari ini, bukanlah pemilik Tanah Papua. Pemilik sah Tanah Papua adalah anak cucu kita, generasi yang hidup pada masa depan. Tanah Papua adalah milik mereka, sementara kita yang hidup hari ini hanya meminjam Tanah Papua dari pemilk sah itu!
Ketiga: Kita tidak bisa hanya berharap kepada MRP untuk memperjuangkan aspirasi bupati dan wabup harus OAP. Kita harus berjuang bersama-sama apalagi, MRP bukanlah lembaga legislatif yang memiliki hak menghasilkan Peraturan dan Perundang-undangan terkait Pilkada. MRP adalah lembaga kultural OAP. MRP hanya bisa mengusulkan tetapi bukan menentukan. Lembaga yang punya wewenang mengubah dan melahirkan UU Pilkada adalah DPR bukan MRP.
Belum lama ini, MRP menemui KPU untuk berdialog menyampaikan aspirasi rakyat Papua agar bupati dan wabup harus OAP. Namun, KPU bukanlah pengambil keputusan dan karena itulah KPU pun hanya menampung aspirasi rakyat Papua yang disampaikan MRP itu untuk diteruskan kepada lembaga yang lebih berwewenang yaitu DPR RI. Malahan, dalam hal menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis setiap tahapan pemilihan pun, lembaga penyelenggara Pemilu ini harus lebih dahulu berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah di dalam forum rapat dengar pendapat (RDP) yang keputusannya bersifat mengikat (cfr. Pasal 9 UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada).
Jika wewenang menghasilkan UU Pilkada tersebut berada di pundak DPR maka kita tidak boleh hanya berdiskusi dan meminta batuan MRP saja tetapi mintalah bantuan para anggota DPR RI asal Papua untuk memperjuangkan aspirasi ini. Pertanyaannya, apakah selama ini kita telah melihat dengan mata telanjang, semua anggota DPR RI dan DPD RI dari daerah pemilihan Papua dan Papua Barat berjuang untuk mensukseskan aspirasi ini?
Keempat: Perjuangan untuk mendapatkan cabup dan cawabup harus OAP atau harus anak asli Keerom sepertinya cukup terlambat, walaupun Pilkada 2020 harus ditunda karena pandemi Covid-19. Mengapa? Karena hampir semua kabupaten/kota di Tanah Papua yang ikut Pilkada serentak kali ini (11 kabupaten di Papua dan sembilan kabupaten di Papua Barat) sudah melaksanakan beberapa kegiatan seperti pengumpulan KTP warga setempat oleh mereka yang akan maju sebagai calon perongan. Begitu pula mereka yang ingin menjadi bupati dan wakil bupati telah saling berpasang-pasangan. Lebih dari itu, ada banyak pasangan bacabup dan bacawabup sudah melakukan pertemuan dengan pimpinan Parpol untuk mendapatkan “perahu” dalam Pilkada. Malahan, ada pula pasangan bacabup dan bacawabup telah mengantongi rekomendasi di DPP parpol pengusung.
Patut dicamkan baik-baik bahwa pada hari ini, hampir semua pasangan bacabup dan bacawabup di kabupaten-kabupaten yang melaksanakan Pilkada serentak itu, merupakan pasngan campuran (gado-gado) antara OAP dan non-OAP. Ada bacabup dari OAP berpasangan dengan bacawabup yang bukan OAP. Ada pula yang bacabupnya bukan OAP berpasangan dengan bacawabup yang OAP. Hampir tidak kita temukan pasangan yang sama-sama OAP. Jika ada pun, jumlah pasangan sama-sama OAP itu sangat sedikit.
Pertanyaan kritis adalah, apakah selama proses pertemuan dengan pimpinan Parpol pengusung itu “ada makan siang yang gratis?”. Walaupun beberapa Parpol sudah secara terbuka mengumumkan bahwa proses pencalonan dan dukungan Parpol kepada pasangan bupati dan wakil bupati itu tidak ada “Mahar Politik” namun pengalaman membuktikan bahwa apa yang dibicarakan di depan publik tidak seperti yag terjadi di belakang meja atau di meja makan di sebuah restoran.
Ada pasangan cabup dan cawabup yang nota bene adalah pasangan campuran OAP dan non-OAP. Pada saat mereka bersama-sama berurusan dengan Parpol pengusung di sebuah restoran makan siang, mereka berdua sudah saling “menanggung beban” dan sudah pula saling memberikan “kontribusi” saat makan siang tersebut.
Pertanyaannya adalah, apabila pada hari ini mereka berdua yang adalah pasangan campuran ini diminta berpisah hanya karena ada permintaan agar pasangan cabup dan cawabup harus OAP, apakah mereka bersedia untuk berpisah dan harus mengocok ulang atau mencari baru pasangan cabup dan cawabup yang harus OAP? Padahal, uang dalam jumlah yang tidak kecil sudah terlanjur dikucurkan demi mendapatkan perahu untuk berlayar di musim Pilkada itu.
Kelima: Di salah satu kabupaten, Dewan Adat setempat terlihat sangat ngotot memperjuangkan OAP jadi bupati dan wakil bupati. Ini merupakan langkah baik memperjuangkan hak kesulungan OAP di kabupaten tersebut. Namun, sepertinya belum terlalu jelas perjuangan mereka. Apakah yang diperjuangkan Dewan Adat ini adalah bupatinya yang harus OAP atau wakilnya yang harus OAP? Atau, bupati dan wabup harus OAP? Mengapa demikian, karena ketika Dewan Adat berjuang agar bupati dan wakil bupati harus OAP, ternyata pasangan bacabup dan bacawabup yang hari ini sedang berproses di kabupaten itu, adalah pasangan campuran alias pasangan gado-gado. Ada pasangan yang bacabupnya OAP namun bacawabupnya bukan OAP. Sebaliknya, ada pasangan yang bacabupnya bukan OAP namun bacawabupnya OAP.
Semua yang dipaparkan di sini adalah sebuah jalan panjang yang melelahkan dalam meletakkan fondasi yang kuat dan permanen untuk menjadikan OAP “tuan di negeri sendiri”. Tentu saja dibutuhkan semangat, tekad dan daya juang yang tidak kenal lelah serta kesabaran, kejujuran motivasi serta cita-cita yang murni dari perjuangan itu sendiri.
Ternyata, banyak calon…pilihan. Banyak Parpol, OK..OK. Dunia belum kiamat….!
*Peter Tukan: Wartawan aktif 1983-2010.