By: Vinsensius Lokobal
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Awam Katolik Papua (ICAKAP) |
Sejak tanggal 19 Agustus 2019, pasca peristiwa rasisme di Jawa Timur (Surabaya), yang melecehkan dan merendahkan harkat dan martabat Orang Asli Papua (OAP) telah terjadi aksi massa di kota-kota dan wilayah Kabupaten di Papua dan Papua Barat, yang berujung pada berbagai tindakan kekerasan (perusakan, pembakaran, pembunuhan) dan telah banyak menelan korban jiwa dan harta.
Berbagai tindakan kekerasan yang terjadi hampir di seluruh wilayah Papua ini memiliki dampak sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang sangat luas, baik di tingkat lokal maupun nasional, sehingga mendapatkan sorotan termasuk dari media-media internasional. Kerusuhan yang terjadi di Manokwari, Sorong, Fakfak, Jayapura, Deiyai, Wamena dan kota-kota lain di wilayah pantai maupun gunung di Papua dan Papua Barat sangat jelas terlihat sebagai aksi yang terencana dan sistematis, dan juga sebagai aksi spontan dari warga masyarakat Papua yang selama ini dikenal baik yang bertindak atas rasisme di Surabaya. Namun demikian, ada latar belakang sosial, ekonomi, dan politik yang tetap harus diperhatikan, diantaranya:
(1) adanya stigma negatif terhadap OAP dan sikap-sikap rasis yang dilakukan tindakan oleh masyarakat di luar Papua (Nusantara), tapi juga oleh negara melalui berbagai kebijakan nasional yang tak kompatibel terhadap konteks kearifan lokal Papua.
(2) implementasi UU Nomor 32 tahun 2004 dan direvisi dengan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan lebih kepada kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, maka implementasi UU Otonomi Daerah tersebut memberi warna terhadap praktek dualisme penyelenggaraan pemerintahan di Papua secara bersama-sama (UU Nomor 23 tahun 2014 dan UU Nomor 21 tahun 2001).
Praktek penerapan UU Otonomi Daerah tersebut secara tak langsung memperlemah implementasi UU Otsus di tingkat kabupaten/kota, karena pemerintah Kabupaten/Kota di Papua hanya patuh dan taat terhadap UU Otsus Provinsi Papua terkait dengan pembagian dana Otsus Papua.
(3) hilangnya kesempatan masyarakat OAP mendapatkan pekerjaan dan aksesibilitas terhadap sumber-sumber ekonomi lokal karena posisi-posisi tersebut sudah diambil oleh tenaga kerja dari luar Papua.
(4) hilangnya kesempatan OAP menduduki jabatan politik di DPRP, DPRD kabupaten/kota karena Undang-Undang dan sistem Pemilu tak memberikan proteksi untuk politisi OAP di banyak daerah, mayoritas anggota DPRP Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah perwakilan masyarakat Non Papua.
(5) Kesulitan masyarakat OAP masuk dalam struktur birokrasi, karena persyaratan menjadi ASN (Aparat Sipil Negara) yang sangat ketat.
(6) Kebijakan sentralistik yang berlaku secara seragam tak memungkinkan OAP bisa lolos menembus kualifikasi standar yang berlaku secara nasional.
(7)Tterdapat berbagai kebijakan pemerintah (UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri) yang sangat dirasakan oleh masyarakat, pejabat, politisi dan para Kepala Daerah di Papua sebagai kebijakan yang melukai harga diri OAP.
(8) Pendekatan keamanan yang dilakukan negara memiliki dampak negatif terhadap kondisi keamanan masyarakat di Papua.
Hadirnya aparat keamanan TNI/Polri dalam jumlah lebih banyak justru membangkitkan kembali trauma atau rasa ketakutan masyarakat Papua yang pada masa lalu banyak kehilangan orang tua ataupun saudaranya akibat tindakan represif aparat kemanan terhadap masyarakat sipil, begitu pun sebaliknya yang dialami oleh TNI/Polri dan masyarakat Nusantara dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)/TPN/OPM
(9) sistem akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan dan keuangan daerah yang berlaku secara nasional seringkali digunakan sebagai ancaman terhadap para kepala daerah, sehingga menyulitkan kinerja pemerintahan dalam melayani kebutuhan masyarakat dengan karakteristik sangat berbeda dibandingkan masyarakat di daerah lain, dan,
(10) transfer fiskal dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah di Papua (termasuk dana Otonomi Khusus) seringkali digunakan sebagai senjata untuk terus menekan daerah seolah-olah Pemerintah Daerah di Papua tak mempunyai sumber daya apapun.
Eksistensi OAP sebagai ras Melanesia diantara suku-suku bangsa yang ada di Indonesia harus dihormati serta dipertahankan sepanjang massa,dan juga nilai-nilai sosial kemanusiaan, kesatuan dan persatuan serta solidaritas diantara sesama OAP maupun Non Papua yang berdiam di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat tetap terpelihara sebagaimana adanya. Bahwa tetap menghargai dinamika dan dialektika isu politik Papua yang berkembang sekarang ini sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan tuntutan era keterbukaan serta globalisasi.
Setiap orang yang berdiam di Tanah Papua, supaya tetap menghargai martabat kemanusiaan dan jati diri orang asli Papua sebagai bagian dari ciptaan Tuhan dalam relasinya secara sosial budaya, ekonomi, politik, dan hukum dan juga setiap orang supaya tetap menghargai hak-hak dasar orang asli Papua sebagai hak asasi yang tak bisa diganggu gugat dan tak bisa digantikan dengan alasan apapun.
Setelah mencermati dinamika dan perkembangan politik Papua akhir-akhir ini baik didalam negeri maupun di luar negeri yang berpotensi mengancam keutuhan Papua, maka kebijakan afirmative yang bersifat strategis dalam rangka (win-win solution) keluar dari kebuntuan logika positif guna penyelesaian masalah Papua. Perlunya kebijakan ”Papuanisasi Berbasis Kearifan Lokal” dalam kebijakan negara sebagai solusi permanen dan bermartabat untuk mengakhiri gonjang-ganjing politik yang mengancam disintegrasi bangsa serta eksistensi OAP, untuk itu segera mengakomodasi kebijakan Papuanisasi berbasis kearifan lokal dalam seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hukum, sebagai respon negara untuk diramu menjadi kebijakan politik negara dalam bentuk undang-undang.
Pada akhirnya hak-hak dasar OAP yang selama ini terkesan terabaikan dapat dihargai kembali dalam kebijakan negara.
Substansi dari Undang-Undang Otsus Plus pengganti Undang-Undang Otsus Papua harus mengakomodir dan mengatur tentang Papuanisasi berbasis kearifan lokal dalam seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hukum.
Sistem Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Papua harus berbasis pada wilayah Adat (La Pago, Mee Pago, Tabi, Ha-Anim, Saireri, Domberay dan Doberay) baik dalam skema Otsus Plus maupun dalam skema nasional. **
Editor: Ignas Doy