“Setting” Menuju Damai (Abadi) di Papua

Komaruddin Watubun. (foto: istimewa)
banner 468x60

Oleh : Komarudin Watubun *)

Setelah sejenak mereda isu (konflik) Papua yang dipicu oleh aksi di Surabaya dan Malang, tak lama muncul lagi yang lebih menyita perhatian publik, baik lokal dan internasional; kerusuhan di Wamena dan Jayapura pada 23/9/2019.

banner 336x280

Konflik horisontal di Wamena menjadi pemicu sebagian pihak untuk kembali ‘memperhatikan’ Papua. Padahal konflik Papua sempat ‘reda’ karena ada isu lain yang lebih seksi, semisal kebakaran hutan, pembahasan UU KPK, RUU KUHP dan lainnya.

Publik, baik itu pemerintah maupun masyarakat menganggap persoalan Papua sudah ‘selesai’. Konflik Wamena muncul, perhatian pun kembali menyeruak. Itulah problem besar bangsa ini. Sengaja atau tidak, cepat lupa, terlupakan, dilupakan atau melupakan. Padahal problem besar Papua sudah lama menjadi bara api yang dengan cepat meledak, terbakar dan membesar yang mengancam integritas bangsa ini.

Walau berganti pemerintahan, dari sejak Papua bergabung ke dalam pangkuan Republik Indonesia pola ‘cepat lupa atau melupakan’ selalu digunakan untuk meredam konflik (sesaat). Sengaja atau tidak, gaya negara mengelola Papua relevan dengan apa yang digunakan oleh media dalam mengemas pemberitaan atau isu.

Bernard C. Cohen dalam agenda setting theory menyatakan media massa berlaku sebagai pusat penentuan kebenaran. Kemampuan media massa untuk mentransfer kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu isu yang dianggap penting oleh media massa, berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Padahal massa sangat mungkin tidak mencerminkan kenyataan. Media bisa menyaring dan membentuk isu. Sederhananya, apa yang dipentingkan oleh media, dipentingkan oleh publik. Apa yang dilupakan media, dilupakan oleh public.

Gaya ini dilakukan oleh negara terhadap Papua. Ketika Papua dalam suasana ‘tenang’, negara mengabaikan. Jika Papua ‘bergejolak’ negara pun seakan paling sigap memadamkan kebakaran, tanpa menyelesaikan akar dan sumber api tersebut. Mulai mengirimkan pasukan, mengundang tokoh ke istana, menjanjikan membangun istana di Papua, pucuk pimpinan keamanan berkantor di Papua, pagelaran seni dan budaya, dan lain sebagainya.

Agenda setting seperti ini menjadi gaya klasik yang secara tidak langsung ‘melecehkan’ Papua. Bagi Papua, gaya begini juga mereka gunakan. Jika ingin diperhatikan, mereka membuat ‘perhatian’ tidak hanya bagi negara, tapi juga bagi dunia. Pertanyaan besarnya, mau sampai kapan begini? Idealnya negara memahami secara utuh problem mendasar dan dengan keikhlasan menyelesaikan hingga ke akar masalahnya. Dengan demikian penyelesaiannya menjadi bermartabat dan menyeluruh. Bermartabat berarti menjaga kehormatan bagi semua stakeholder bagi Papua dan pemerintah pusat. Tidak boleh ada salah satu pihak yang merasa kalah, tercoreng, malu, aib, dan hilang kehormatan. Menyeluruh berarti solusi ini menjadi komprehensif, mengakar, mengikat bagi semua kalangan dan masa.

Dialog dan UU Otsus

Ada banyak kajian, penelitian, diskusi, dari tingkat lokal hingga internasional dalam mencari solusi terhadap Papua. LIPI salah satunya yang secara komprehensif memberikan rekomendasi. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, rekomendasi tersebut hampir tidak ditindaklanjuti. Menguap begitu saja. Tak heran kalau publik Papua semakin apatis terhadap berbagai upaya penyelesaian konflik.

Publik Papua sering membandingkan dengan konflik yang ada di Aceh. Kalau di Aceh bisa selesai, mengapa Papua tidak bisa ? Apalagi salah satu rekomendasi solusi Papua dari LIPI adalah menggunakan cara penyelasaian konflik di Aceh. Perdamaian Aceh menjadi catatan sejarah dunia. Banyak pihak memberikan apresiasi atas penyelesaian konflik di Aceh yang telah berlangsung selama 30 tahun. Banyak negara menjadikan Damai Aceh sebagai cermin dalam menyelesaikan konflik.

Memang, konflik Aceh tidak sama persis seperti di Papua, struktur organisasi pergerakananya juga berbeda dan berbagai perbedaan lainnya. Wacana yang sering muncul adalah, apa yang menjadi syarat dalam proses dialog/perundingan, siapa yang mewakili Papua, siapa fasilitator, siapa mediatornya, dimana dilakukan perundingan, dan berbagai pertanyaan lainnya sering diajukan. Tapi sayangnya, langkah menuju itu tidak pernah serius dilakukan.

Hal lain yang sangat mendasar adalah menjauh atau acuhnya stakeholders yang ada di Papua dan Pusat terhadap konstitusi, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. UU ini lahir sebagai buah reformasi, hasil dialog hampir semua komponen yang ada di Papua, dan memiliki dasar hukum yang kuat. Sayangnya, UU ini hanya dilihat dari sisi angka ekonomi, bukan subtansi dari sebuah upaya memposisikan Papua secara terhormat. Padahal sebenarnya UU ini merupakan jalan terbaik dan demokratis dalam mengurai masalah di Papua sekaligus menjadi resep jitu mengobat berbagai penyakit yang ada.

Pada dasarnya inti dari UU Otsus adalah untuk mencapai dua tujuan mulia yang saling berpengaruh secara positif, yaitu: Pertama, terwujudnya kondisi penduduk lokal (orang asli) Papua sebagai bagian integral dari rakyat Indonesia yang memiliki kualitas sumber daya manusia sehingga mampu berperan sebagai subyek pembangunan dalam skala daerah, nasional dan internasional. Kedua, terwujudnya pembangunan infrastruktur fisik dan non fisik untuk membuka keterbatasan akses transportasi, komunikasi, informasi, kesehatan dan pendidikan.

Harus diakui karena ketidakmengertian, acuh, dan abainya para penyelenggara pemerintah (Pusat dan Daerah) terhadap UU Otsus inilah, menjadikan Papua miss management. Penyelenggara, Pemerintahan pusat dan khususnya Daerah menjadi bagian dari akar sejumlah masalah, Mulai dari jauhnya kesejahteraan, kemiskinan, pengangguran, kekerasan negara dan pelanggaran HAM, peredaran senajata illegal, pemerintah yang korup, pengelolaan hasil alam yang semraut, penegakan hukum yang hampir tidak berjalan, dan lain sebagainya.

Alih-alih menyelesaikan masalah, yang terjadi justru sebagian pemerintah lokal menjadi bagian dari tambah tidak kondusifnya Papua. Sayangnya, keadaan ini seakan “dibiarkan” oleh Pemerintah Pusat. Hampir tidak ada pelaku koruptif di Papua yang tertangkap tangan. Hasil pemeriksaan/audit pemeriksa keuangan negara seakan tidak ada masalah. Bahkan ada kelakar hampir semua Pemda mendapatkan predikat WTP alias Wajar Tanpa Pemeriksaan. Begitupun dengan penegakan hukum, berada pada posisi yang landai. Padahal ini bagian dari masalah besar yang harus diatasi segera untuk menujukkan kepercayaan publik Papua pada negara ini.

Visi Presiden

Pada awal pemerintahan periode pertama Jokowi-JK, dinyatakan bahwa tidak ada visi- misi menteri. Yang ada, visi-misi Presiden dan Wakil Presiden. “Semua kementerian dan lembaga harus satu garis lurus dengan visi misi saat ini,” kata Presiden saat itu. Namun sayangnya, dalam kasus Papua, di lapangan antar-kementerian sering lempar tanggung jawab, tidak ada koordinasi, berjalan sendiri-sendiri, tumpang tindih dan lain sebagainya.

Lima tahun sudah pemerintahan Jokowi-JK berjalan, 70 persen pemilih rakyat Papua memilih Jokowi baik pada periode pertama maupun kedua. Inilah kesempatan Jokowi mengevaluasi dan membuat “setting” dari berbagai hal dalam mengatasi problem Papua. Kalau tidak, Jokowi hanya masuk dalam urutan pemimpin yang gagal mengurus Papua. ***

*) Anggota DPR RI Fraksi PDI P Dapil Papua Periode 2014-2019 & 2019-2024

Editor: Nethy DS

banner 336x280