Oleh: Peter Tukan*
Pada 17 April 2019 lalu, seluruh rakyat di Provinsi Papua (juga di wilayah lain di Indonesia) secara serentak dan bebas telah memberikan suaranya – memilih calon wakil rakyat – pada pesta demokrasi Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan pada 31 Oktober pekan lalu, para wakil rakyat yang terpilih itu dilantik.
Sebanyak 55 wakil rakyat yang berasal dari berbagai daerah pemilihan (Dapil) di Provinsi Papua dan berbagai partai politik (Parpol), berdasarkan SK Mendagri Nomor 161.91-5399 Tahun 2019 resmi dilantik oleh Ketua Pengadilan Tinggi Papua, Heru Pramono, SH.MH dihadiri para pejabat pemerintah setempat, anggota keluarga, undangan dan masyarakat umum.
Wajah para wakil rakyat ini tampak riang gembira. Senyum bahagia penuh optimisme menghiasi bibir dan bola mata para wakil rakyat ini. Tentu saja, ikut larut dalam kegembiraan itu adalah keluarga para wakil rakyat, tamu-undangan dan malahan seluruh lapisan masyarakat seantero Tanah Papua.
Mengapa rakyat bergembira penuh harapan? Jawaban sederhana adalah karena di dalam nurani wakil rakyat dan di atas pundak 55 orang anggota DPRP inilah, paling tidak, nasib hidup seluruh rakyat selama lima tahun ke depan diperjuangkan dan dipertaruhkan sembari berharap kiranya nasib dan amanah penderitaan rakyat ini tidak sampai “digadaikan” hanya untuk kepentingan diri sendirii, keluarga sendiri, suku sendiri, agama sendiri, ras sendiri, kelompok politik sendiri dan sendiri-sendirinya yang lain.
Harapan dan Tekad
Mengawali suatu tugas dengan penuh semangat, tekad dan harapan, adalah manusiawi, wajar-wajar saja dan memang seharusnya begitu!
Usai seremoni pelantikan di gedung wakil rakyat DPRP yang terletak di jantung kota Jayapura, banyak wakil rakyat secara spontan menyampaikan janji dan harapan pengabdiannya selama lima tahun ke depan 2019-2024. Ada wakil rakyat yang bertekad memperjuangkan keberlanjutan dan pemerataan pembangunan infrastruktur di seluruh pelosok provinsi ini. Ada pula berkeinginan kuat untuk bersuara keras demi meningkatkan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan dari kota hingga kampung terpencil dan terisolasi. Dan ada pula wakil rakyat yang berkeinginan kuat menyuarakan amanat penderitaan rakyat Papua dari kota Jayapura hingga ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Sungguh luar biasa! Tekad dan harapan yang hampir sama, tentu saja telah pula didengung-dengungkan oleh para wakil rakyat Papua yang saat ini duduk di lembaga DPR RI dan DPD RI.
Khusus para wakil rakyat di gedung DPRP, tekad untuk memperjuangkan kepentingan rakyat itu sebenarnya sudah termaktub di dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua yang pada pasal 7 hingga pasal 10 mengatur tentang tugas dan wewenang, hak dan kewajiban setiap anggota DPRP.
Tinggal saja, setiap anggota DPRP melaksanakan amanat UU Otsus Papua itu secara taat asas, konsekuen dan berkesinambungan selama lima tahun ke depan. Jangan sampai, pada akhirnya nanti, rakyat yang memilih para wakil rakyat ini mengatakan, “semuanya itu hanyalah sebuah semangat awal yang patut dimaklumi saja, panas-panas abu dapur, lama kelamaan sirna juga!” Bagi wakil rakyat yang kali ini merupakan periode kedua berada di rumah rakyat itu, tentu saja “sudah tahu jalan dan lorong-lorong, lika-liku selokan dan parit, sudah cukup banyak makan asam-garam, serta sudah pandai membedakan, dimana jalan tikus berdasi dan dimana jalan tikus tak berdasi. Pengalaman lima tahun lalu membuat mereka sudah bisa jalan sendiri. Sedangkan bagi mereka yang baru menapaki gerbang rumah rakyat itu, tentu saja akan mulai belajar berjalan, tertatih-tatih dahulu, jatuh dan bangun sembari pasang mata, kuping dan telinga, yang pada akhirnya juga, bisa jalan sendiri untuk lima tahun ke depan”.
Pertanyaan awal adalah, apakah dalam lima tahun ke depan, para wakil rakyat ini, dapat sukses membesarkan hati rakyat karena mereka bersama eksekutif, benar-benar dengan tulus hati memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat demi menggapai mimpi kita bersama yaitu kesejahteran, keadilan dan perdamaian abadi di tanah “Sorga kecil jatuh ke bumi” ini?
Ataukah, justru sebaliknya, selama lima tahun ke depan, para wakil rakyat yang sama ini pun, akan membuat rakyat yang telah memilihnya pada 17 April lalu itu, hidup “makan hati –berulang jantung, hidup enggan-mati tak mau, mimpi buruk sepanjang jalan kenangan – lantaran sudah menjadi bagaikan kacang yang melupakan kulitnya – sebatang pohon yang tercabut dari akarnya?”
Mengontrol Wakil Rakyat
Agar para wakil rakyat yang baru dilantik pada 31 Oktober 2019 tidak sampai melupakan rakyat yang diwakilinya — untuk bersama pihak eksekutif (pemerintah) bekerja untuk kesejahteraan, keadilan, kemakmuran dan perdamaian seluruh rakyat — maka mereka harus terus dikontrol sepakterjangnya selama lima tahun ke depan 2019-2024.
Patut dicamkan bahwa yang membentuk pemerintahan adalah rakyat sehingga pemerintahan harus bertanggungjawab kepada rakyat. Rakyat memilih wakil-wakilnya yang saat ini duduk di rumah rakyat itu. Demokrasi yang baik akan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk berpartisipasi mengontrol para wakilnya yang duduk di lembaga legislatif itu.
Demokrasi yang baik akan memberi kesempatan kepada rakyat untuk berpartisipasi secara jujur dan adil. Kesempatan berpartisipasi itu akan merangsang rakyat untuk mempelajari dan mengikuti permasalahan sosial yang digeluti anggota DPRP di gedung wakil rakyat itu.
Demokrasi tidak selalu menghasilkan kebijakan terbaik, tetapi paling tidak memberikan kesempatan untuk mengoreksi kesalahan yang terburuk. Pendapat bersama selalu lebih baik dari pada pendapat pribadi. Diskusi adalah simulasi pemahaman permasalahan yang paling baik, sehingga penyelesaian sebuah permasalahan rakyat akan lebih mudah. (Widjajono Partowidagdo dalam “Memahami Analisis Kebijakan” 1999).
Kita tidak boleh pernah beranggapan bahwa yang pernah sukses pada lima tahun lalu, akan sukses lagi pada lima tahun mendatang. Untuk itu, dua komponen strategis yang diharapkan dapat ikut mengontrol kinerja para wakil rakyat di lembaga legislatif DPRP dan Pemerintah Provinsi Papua di lembaga eksekutif selama lima tahun ke depan adalah media massa dan suara akademisi (cendekiawan dan mahasiswa). Dua komponen ini adalah alat terampuh untuk menilai kebijakan publik (kontrol sosial dan usaha perbaikan keadaan masyarakat di Tanah Papua).
Ilmuwan dan wartawan justru harus bersahabat karena mereka, sebagai pencari kebenaran, harus berupaya melihat suatu persoalan di Tanah Papua dari banyak sisi pandang. Menurut Galileo, dalam suratnya kepada Christina of Lorraine, pencarian kebenaran (baik oleh wartawan maupun ilmuwan/cendekiawan) dilakukan untuk, “To see what they do not see, not understand what they understand….(untuk melihat apa yang tak mereka lihat, tidak untuk mengerti apa yang mereka mengerti…)
Terkait dengan tugas para wakil rakyat di lembaga legislatif DPR Papua, Pemimpin Umat Katolik Keuskupan Jayapura, Uskup Leo Laba Ladjar,OFM berpesan:
“Para politisi kita, janganlah menjadi jagoan dalam akrobat kata-kata untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya dan golongannya sendiri. Para politisi itu seharusnya menjadi ahli-ahli runding untuk mencapai kesepakatan semua golongan dalam hal-hal yang menyangkut kesejahteraan bersama seluruh rakyat Papua. Mereka seharusnya trampil dalam mengusahakan kompromi yang sehat. Agar tanpa mengurbankan nilai-nilai yang luhur, berbagai pihak yang berbeda dan berseberangan dalam satu kepentingan, bisa mencapai satu pegangan bersama. Para politisi yang diutus untuk memberitakan Damai Sejahtera bagi masyarakat kita, seharusnya tetap memusatkan perhatiannya pada kesejahteraan umum dan dengan giat mengusahakan tawar menawar antara berbagai kepentingan yang berbeda untuk menjamin kesejahteraan bersama, kemakmuran bersama dan perdamaian abadi di atas Tanah Papua”. ( Bdk: Uskup Leo Laba Ladjar, OFM dalam “Membangun Papua Tanah Damai”, editor: Peter Tukan, Penerbit Keuskupan Jayapura, 2009, Hal.83-84).
** Peter Tukan : Wartawan 1983-2010