Oleh: Faisal Narwawan|
PAPUAinside.com, JAYAPURA— Untuk menguatkan wawasan anak muda tentang isu lingkungan, Yayasan Ekosistim Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa) menggelar pelatihan dasar school of eco diplomacy (SED) tingkat dasar di salah satu hotel Jayapura. Kegiatan ini dibuka, Rabu (13/11/2019) pagi.
Dalam rangkaian kegiatan, digelar juga talk show bertajuk “Ekologi Papua dan Krisis Iklim”.
SED terselenggara atas kerja sama Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Kehutanan, Universitas Cendrawasih, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, Forum Komunitas Papua-Rumah Bakau Jayapura, serta Yayasan EcoNusa sendiri.
Direktur Program Yayasan Ekonusa M Farid, PhD dalam sambutannya mengatakan, banyak satwa liar yang tidak ditemukan di belahan Indonesia manapun. Untuk itu, perlu kelestarian hutan yang terus berjalan.
“Kita ingin kepedulian ini kita tularkan ke kegenerasi selanjutnya. Pemerintah bekerja sendiri saja tidak cukup, karena hutan ini perlu dijaga bersama-sama,” ujar M Farid.
Pelatihan Kelas Dasar Sekolah Eco Diplomacy 2019 sendiri kata Farid akan difokuskan untuk tingkat dasar yang dilakukan di kota Manokwari dan Jayapura.
Kedua kota di Tanah Papua ini dinilai penting untuk menumbuhkan kader-kader muda peduli lingkungan.

“Pasca pelatihan diharapkan dapat menstimulasi gerakan anak muda untuk merespon isu-isu lingkungan di tiap kota. Target peserta di tiap kota sebanyak 25 anak muda,” jelasnya lagi.
Hadir pada acara tersebut Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kota Jayapura Yohanes Sugeng Huik, Kasubag Evaluasi Pelaporan Data dan Hubungan Masyarakat, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Paulus Baibaba, Pembantu Rektor III Universitas CendErawasih Jhonathan Wororomi, Dosen Prodi Pendidikan Geografi Universitas Cendrawasih Yehuda Hamokwarong, dan warga Kampung Sereh, Sentani, Yesaya Eluay.
Yehuda dalam diskusi tersebut menjelaskan, pendekatan budaya dapat menjadi salah satu jalan untuk mengatasi persoalan lingkungan yang terjadi di Papua.
Banjir bandang yang terjadi di Sentani pada Maret 2019 lalu, menurut Yehuda, terjadi antara benturan budaya Suku Tabi dan Lapogo. Suku Tabi memandang daerah Pegunungan Cycloops sebagai tempat untuk bersyukur dan berdoa.

Sementara itu, Suku Lapago menempatkan kawasan cagar alam itu sebagai tempat mencari penghidupan.
“Ini bisa diatasi dengan melakukan pendekatan budaya. Misalnya masyarakat yang berkebun di atas (Pegunungan Cycloops) dapat diarahkan berkebun di daerah penyangga,” kata Yehuda.
Kerja sama antar suku juga dapat meringankan upaya konservasi.
Kepedulian lain juga disampaikan Pembantu Rektor III Universitas Cendrawasih Jhonathan, menurutnya, saat hutan rusak bukan hanya pohon yang hilang atau banjir, tapi juga proses interaksi lingkungan dan aspek sosial, budaya.
Tokoh masyarakat Kampung Sereh, Sentani, Yesaya Eluay juga mengutarakan hal senada, Kata Yesaya, Pegunungan Cycloops rusak akibat aktivitas perkebunan.
Masyarakat berkebun pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Menurut Yesaya, banyak pohon besar telah tumbang, berganti menjadi perkebunan masyarakat. Hal itu juga berdampak pada sumber mata air. Dari 124 mata air kini hanya tersisa 5 mata air yang masih mengalir.
“Cycloops dulu dingin sekali. Embunnya tebal dan baju basah. Masuk ke dalam pakai senter kalau pagi hari (pukul 4) tapi sekarang sudah terang. Pohon besar dan kami takut-takut. Sekarang sudah tidak ada. Cycloops juga sudah longsor seperti itu. Banjir kemarin rumah saya kena dan dua anak tewas. Saya kalau bicara cagar alam saja sedih,” ucap Yesaya.
Sementara, Paulus mengatakan, cagar alam Pegunungan Cycloops didiami oleh lima suku berbeda. Perbedaan adat dan etika pada pemegang hak ulayat perlu dipahami oleh pemerintah daerah untuk memudahkan pengelolaan cagar alam.
Program Sekolah Eco Diplomacy diluncurkan pertama kali pada tahun 2018. Kegiatan dilakukan pada rentang waktu September hingga Desember 2018 meliputi seminar pembukaan, workshop pembekalan dan live-in di kampung Pegunungan Arfak. Kegiatan ini kemudian diikuti dengan aktifitas shadowing ke kantor kementerian dan kedutaan besar selama dua hari dan ditutup dengan kegiatan Kuliah Umum di Jakarta. **