Salmon Kasipmabin*)
SETIAP tanggal 2 Mei bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi momentum sakral untuk menguji kesetiaan kita terhadap cita-cita kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita ini tidak boleh bersifat selektif atau berhenti di kota-kota besar. Ia harus menembus batas pulau, gunung, dan lembah; menjangkau ruang-ruang sunyi di mana anak-anak bangsa masih belajar di bawah pohon atau dinding papan reyot bahkan menunggu guru berminggu-minggu.
Realitas pendidikan Indonesia hari ini masih menunjukkan ketimpangan yang mencolok. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa angka rata-rata lama sekolah nasional baru mencapai 8,65 tahun. Di sisi lain, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua Pegunungan tercatat hanya 57,62—paling rendah di seluruh Indonesia. Artinya, seorang anak dari Papua Pegunungan bisa jadi hanya mengenyam pendidikan setara kelas 5 SD. Ini adalah lonceng darurat yang tidak boleh kita abaikan.
Di pedalaman Papua, terutama wilayah pegunungan dan pesisir, tantangan pendidikan jauh lebih kompleks. Bukan hanya soal keterbatasan guru dan fasilitas, tetapi juga soal jangkauan geografis, keamanan, dan minimnya perhatian dari pusat yang tidak tepat sasaran. Berdasarkan data Kemendikbudristek 2023, rasio guru terhadap murid di beberapa kabupaten Papua Pegunungan bisa mencapai 1:80, jauh dari rasio ideal. Belum lagi banyak sekolah tidak memiliki bangunan permanen, laboratorium, atau akses listrik dan internet.
Di tengah realitas yang menyayat ini, nasib anak-anak Papua berada di persimpangan sejarah. Mereka yang mestinya menjadi subjek dari kemajuan, malah kerap menjadi objek belas kasihan. Padahal mereka adalah citra Allah, makhluk paling mulia yang diciptakan dengan potensi luar biasa. Mereka berhak mengenal budaya leluhurnya sebagai identitas, dan pada saat yang sama, mereka juga berhak memahami sains dan teknologi sebagai tangga untuk ikut serta dalam peradaban dunia.
Tapi semua itu mustahil tanpa fondasi yang kokoh: pendidikan dasar yang kuat dan kontekstual. Pendidikan yang tidak sekadar mentransfer isi kurikulum nasional, tapi yang mampu menjawab realitas lokal—tanah, budaya, bahasa, serta tantangan zaman. Guru-guru harus didorong menjadi perancang kurikulum yang relevan, bukan sekadar pelaksana modul cetak. Pemerintah pun mesti bergerak progresif, menciptakan sistem yang mendorong guru untuk hadir dan betah mengabdi, bukan karena insentif semata, tetapi karena merasa menjadi pemilik masa depan tanah ini.
Salah satu terobosan luar biasa datang dari Pegunungan Bintang, melalui tangan dingin Bupati Spei Yan Bidana, ST., M.Si. Di tengah keterbatasan infrastruktur, SDM, dan dana, ia berani mendirikan Universitas Okmin Papua—kampus pertama di wilayah yang selama ini hanya menjadi “penonton” kemajuan. Ini bukan sekadar membangun gedung, tapi menyalakan obor peradaban dari ujung timur. Langkah ini menunjukkan bahwa inovasi bukan monopoli kota, melainkan keberanian membaca zaman dan menjawabnya dari pedalaman.
Namun, universitas hanya akan kuat jika ditopang pendidikan dasar yang solid. Karena itu, reformasi harus dimulai dari SD dan SMP serta SMA/MK. Anak-anak harus diajarkan untuk bertanggung jawab terhadap komunitasnya dan peka terhadap dinamika global. Mereka harus kuat dalam matematika, bahasa, seni, dan budaya. Kita tidak sedang menyiapkan mereka menjadi warga kelas dua dunia, tapi pemimpin perubahan dari tengah hutan dan gunung.
Sementara itu, peran guru adalah pilar utama. Tanpa guru yang hadir dan tulus, tak ada pendidikan bermakna. Pemerintah daerah maupun pusat harus menciptakan sistem insentif yang bukan sekadar material, tapi emosional dan struktural: pelatihan berkelanjutan, pendampingan intensif, serta sistem rekrutmen yang berbasis panggilan hati. Kepemilikan (ownership) harus ditanamkan agar guru merasa bagian dari perjuangan suci ini.
Semua ini bukan demi mengejar angka-angka pembangunan, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab moral kepada anak cucu kita di Tanah Papua. Seperti jeritan lagu Edo Kondologit: “Anak siapa itu yang menangis di ujung negeri? Dan suara kemiskinan” Jangan sampai kita jadi generasi yang bersalah karena abai. Kita harus memastikan, bahwa dari balik kabut Pegunungan Papua hingga ombak pesisir Papua, anak-anak Papua punya masa depan yang setara, bahkan lebih bersinar dari kita.
Pendidikan adalah jalan panjang, tapi itulah harga dari sebuah kemajuan. Jika kita ingin Papua maju, kita harus mulai dari sekolah dasar. Dari ruang-ruang kelas di balik bukit dan kabut. Karena sesungguhnya, pendidikan adalah nyala obor peradaban. Dan jika obor itu menyala dari ujung timur Indonesia, maka cahaya itu akan menerangi seluruh nusantara
*) Guru Sukarela di Pedalaman Papua