Image  

Pers Kampus Jadi Harapan Mahasiswa FISIP Uncen

banner 468x60

Oleh: Carlos Henriques |

PAPUAinside.com, JAYAPURA–
Mengaktifkan  kembali pers kampus merupakan harapan  para mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen), Papua.

banner 336x280

Harapan itu terkuak  pada diskusi publik bertemakan “Peran Pers Dalam Pembangunan di Papua”  yang diselenggarakan atas kerjasama Komunitas Sastra Papua (Ko-Sapa) dengan Laboratorium Kesejahteraan Sosial FISIP Uncen dalam rangka Peringatan Hari Pers Nasional 2020 yang digelar di kampus FISIP Uncen, kawasan Waena, Kota Jayapura, Selasa (11/2).

Diskusi publik itu  dibuka secara resmi oleh Pembantu Dekan I,Marlina Flassy, Ph.D dengan menampilkan nara sumber antara lain Dr. Drs Ave Levaan,  Dr Albertina N.Lobo,S.Sos, M.Si,  Andi Tagihuma, Dr Ferry Sitorus,  Fin Yarangga dan Peter Tukan.

Wartawan salah satu media cetak di Jayapura, Roberthus Yewen yang juga alumni FISIP Uncen sekaligus moderator diskusi tersebut mengatakan, para mahasiswa dan staf pengajar yang hadir pada diskusi tersebut sangat berharap, dihidupkan kembali pers  kampus sebagai media yang mengasah kemampuan intelektual mahasiswa yang adalah  cendekiawan Tanah Papua masa depan.

“Mengaktifkan kembali pers kampus yang telah lama hilang merupakan harapan mahasiswa. Pers kampus tidak berorientasi ekonomi tetapi pada idealisme mahasiswa.  Pers kampus sangat ideal bagi para mahasiswa yang memiliki kegemaran menulis atau yang ingin menjadi jurnalis, penulis atau penggiat media di kemudian hari,” kata Yewen.

Peserta diskusi foto bersama usai kegiatan. (foto: Carlos Henriques)

 

Dengan membaca perkembangan tekonolgi media zaman ini, lanjut Yewen, pers kampus yang ingin dihidupkan kembali itu, tidak harus diterbitkan dalam bentuk tabloid, buletin atau news letter tetapi dapat diterbitkan  melalui media on line sehingga kendala biaya seperti  yang dialami banyak media cetak dapat sedikit teratasi.

Dia mengatakan, peserta diskusi berharap, kiranya setelah berlangsung kegiatan seperti ini yang jarang dilakukan di kampus Uncen, para mahasiswa mulai membentuk kelompok penyelenggara terbitnya pers kampus di bawah bimbingan para dosen yang selama ini begitu setia mendampingi para mahasiswanya untuk terus maju dalam belajar dan berdiskusi demi kebaikan  para mahasiswa sendiri  dan masa depan masyarakat di  Tanah Papua.

Dengan lahirnya kembali pers kampus maka profil mahasiswa Uncen sebagai kaum intelektual semakin tercermin dalam pers kampus itu sendiri dengan menampilkan tulisan yang ilmiah, objektif, rasional, kritis tanpa menampilkan gosip atau isu-isu murahan di bidang sosial, politik, ekonomi, keamanan  dan ketertiban masyarakat di Tanah papua.

Mantan wartawan Peter Tukan mengusulkan, apabila mahasiswa FISIP Uncen benar-benar berkeinginan menghidupkan kembali pers kampus maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah membentuk tim kecil yang anggotanya tidak lebih dari 10 orang mahasiswa untuk mulai mendiskusikan program penerebitan pers kampus.

“Langkah  pertama adalah menggagaskan pelaksanaan pelatihan jurnalistik, pelatihan menulis karya ilmiah populer seperti yang pernah dilakukan Fakultas Teknik Uncen dalam kerjasama dengan PT Freeport Indonesia pada sekitar tiga tahun yang lalu dengan menampilkan para pelatih  dosen  STFT Fajar Timur,” katanya.

Kegiatan tulis menulis ilmiah populer sangat bermanfaat bagi mahasiswa ketimbang mahasiswa merencanakan kegiatan-kegiatan yang kurang produktif dan kurang bermanfaat bagi kebaikan diri sendiri, bagi kesejahteraan serta kedamaian hidup masyarakat di sekitarnya,” kata Peter Tukan.

Sementara itu, Dr Drs Ave Levaan mengatakan, pada saat ini, tidak hanya mahasiswa tetapi masyarakat Papua pada umumnya  telah kehilangan akar budayanya sendiri sehingga kehilangan jati diri sebagai orang Papua sekaligus terombang-ambing di dalam hempasan gelombang perubahan zaman.

“Melalui karya tulis ilmiah populer, para mahasiswa akan banyak menuangkan cerita-cerita rakyat yang terkandung di dalam tradisi dan  budaya masyarakat Papua  yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang sangat dalam,” katanya.

Pada masa lalu di Papua, lanjut Ave,  terbit dan beredar luas salah satu media cetak bernama  “Tifa Irian”  yang menampilkan rubrik “Kabar Dari Kampung”  menampilkan kisah keseharian hidup  masyartakat Papua yang populer. Ribruk ini sangat digemari oleh masyarakat Papua sendiri lantaran mampu mengangkat tradisi dan budaya masyarajat yang tercermin dalam sepak terjang hidup harian masyarakat di kampung-kampung.

“Patut diakui bahwa pada saat ini, banyak media, baik cetak maupun elektronik juga media online menampilakn berita dan gambar-gambar konflik di Papua yang akhirnya membuat masyarakat memiliki pandangan bahwa Papua selalu bergolak, Papa adalah daerah konflik yang menakutkan. Padahal, media atau karya jurnalistik harus mempu menampilkan berita-berita damai, sejuk bagi iklim kehidupan masyarakat di Tanah Papua,” katanya.

Fin Yarangga – salah seorang aktivis perempuan Papua sekjaligus alumni Uncen berpendapat, masyarakat tradisional Papua adalah masyarakat berceritera. Masyarakat yang memiliki budaya lisan, bukan budaya menulis.

“Sehingga pers harus mampu mengangkat budaya lisan itu ke dalam karya tulis dan gambar yang bermutu,” katanya.

Andy Tagihuma salah seorang pegiat Komunitas Sastara Papua (Ko-Sapa) berpendapat, komunitasnya memberikan ruang kepada mereka yang mencintai kebudayaan untuk mengimbangi tulisan-tulisan yang penuh dengan  isu-isu politik yang dapat merusak tatanan kehidupan masyartakat Papua yang harmoni.

“Media di Papua dan Indonesia pada umumnya sangat sering menampilkan berita dan gambar dengan masalah serta isu politik yang membawa konflik di tengah masarakat ketimbang manampilkan tradisi dan budaya masyarakat yang harmoni dan bersaudara,” katanya.

Pers, lanjut Andy harus mampu membangun kesadaran masyarakat akan tradisi dan budayanya yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang mengagumkan.

Pers harus mampu mengangkat peri kehidupan masyarakat di kampung-kampung yang masih memiliki akar tradisi dan budaya yang kuat seperti,  kesetiakawanan, kekeluargaan, gotong royong dan  musyawarah menuju mufakat.

Sedangkan Dr Ferry Sitorus salah seorang staf pengajar Program Studi Kesejahteraan Sosial meminta insan pers agar kiranya media tidak dikontrol oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau uang, sebaliknya media harus mampu mengontrol jalannya demokrasi di Indonesia.

“Jangan biarkan pers dikontrol oleh penguasa atau mereka yang berduit  karena dengan itu pers menjadi tidak netral lagi dan tidak mampu menyuarakan kebenaran, kebebasan dan keadilan,” katanya.

Dr Albertina berpendpat, pers harus mampu membuka tabir budaya masyarakat Papua yang memiliki nilai-nilai luhur untuk perjalanan hidup ke masa depan.

“Pers dan pendidikan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Saya mendukung  prakarsa dan kegiatan diskusi seperti ini untuk mengasah kemampuan berpikir dan membuka tabir kehidupan sosial-budaya masyarakat Papua,” katanya.

Dia mengakui, bagitu banyak informasi sosial, politik, ekonomi dan Kamtibmas di Papua  didapatnya dari pers.

“Tidak semua jurnalis di luar Papua yang mampu dan berani menyampaikan informasi tentang Papua apa adanya daripada jurnalis yang berkarya di  Tanah Papua sendiri. Keunggulan  jurnalis pada umumnya  adalah memiliki kompetensi menulis, namun  masih banyak wartawan yang menulis tanpa memiliki kedalaman berita atau opini serta  kurang fokus pada permasalahan yang ditulisnya,” kata Albertina.

Seorang wartawan, kata Albertina  harus memiliki kemampuan membedah  secara mendalam fenomena kehidupan sosoail-budaya masyarakat di Tanah Papua. **

 

 

banner 336x280