Penutur Minim, Bahasa Daerah di Kota Jayapura Terancam Punah

Anton Moturbongs, Pengkaji Bahasa di Balai Bahasa Papua, (foto: Faisal Narwawan)
banner 468x60

Oleh: Faisal Narwawan|

PAPUAinside.com, Jayapura –  Untuk melindungi bahasa daerah di Kota Jayapura, Balai Bahasa Papua telah melakukan riset bersama BPD Kota Jayapura di  kampung-kampung sekitar Kota Jayapura.

banner 336x280

Pemetaan bahasa daerah sendiri telah dilakukan Balai Bahasa Papua sejak 2006 hingga 2019 ini.

Fakta yang didapat, jumlah penutur bahasa daerah yang ada baik Tobati,  Kayu Pulo, Nafri hingga Skouw sangat minim.

Hasil penelitian tersebut, pihaknya memprediksi, secara ilmiah 30 tahun ke depan bahasa-bahasa yang ada sudah tak lagi digunakan oleh penutur yang ada. Dan bukan tak mungkin, 10 – 15 tahun bisa saja bahasa ini punah.

“Kami lakukan wawancara, hasilnya bahasa-bahasa ini penuturnya tinggal sedikit, bisa dihitung dengan jari, itu pun penggunanya dengan usia lanjut. Sementara generasi sekolah sebagian besar sudah tak bisa lagi gunakan bahasa daerah mereka sendiri,” ungkap Anton Moturbongs, Pengkaji Bahasa  di Balai Bahasa Papua, Rabu (30/10/2019).

Penyebab dari hampir punah penutur bahasa di sekitaran Kota Jayapura disebutkan Anton terjadi salah satunya karena adanya kawin campur antara penduduk asli dengan pendatang.

“Kemudian karena mobilitas penduduk yang tinggi dan disebabkan juga karena hubungan (jarak) yang terlalu dengan antara kota dan Kampung sehingga mempermudah pengaruh luar masuk. Itu faktor-faktor penyebabnya,” beber Anton yang juga Pegawai Teknis Bidang Pengkajian Balai Bahasa Papua sekaligus dosen luar biasa bidang Bahasa Indonesia pada  beberapa perguruan tinggi di Kota Jayapura itu.

Faktor penting lainnya dikatakan Anton, karena tak setianya orang tua untuk mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anak mereka.

“Jadi peran, faktor orang tua sangat penting, apa lagi Bahasa Indonesia ini mudah dipahami di daerah-daerah lalu masuk sampai ke pelosok kampung sehingga ada gengsi anak-anak kampung untuk gunakan bahasa daerahnya, ya juga karena tuntutan ekonomi di kota yang berdampak ke bahasa daerah di sekitaran kota,”  tambahnya.

Tak hanya itu, kata Anton di daerah Jawa sudah lama terdapat bahasa daerah yang masuk dalam mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah dasar.

Sementara, di Papua hal ini belum terealisasikan.

“Pada intinya, guru SD di kabupaten-kabupaten seperti Papua Barat itu tak punya bahan untuk mengajarkan bahasa daerah. Ini menjadi kendala tersendiri agar bisa menyusun muatan lokal bahasa daerah agar bisa masuk ke sekolah,” tandasnya.

Ia pun memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut. menurutnya, peran orang tua sangat penting untuk mewariskan bahasa daerah ke generasi selanjutnya.

“Orang tua harus mengajarkan bahasa daerahnya setiap pagi terutama kata  sapaan bahasanya masing-masing, baik selamat pagi, siang atau malam,” katanya lagi.

Ke dua, perlunya kemauan baik dari pemerintah daerah baik kota maupun kabupaten.

Balai Bahasa Papua sendiri bekerjasama dengan Universitas Cenderawasih (Uncen) untuk bagaimana mendorong Pemerintah Provinsi Papua untuk menyusun Peratutan Daerah tentang perlindungan bahasa dan sastra daerah di Tanah Papua.

“Ini payung hukum, kalau sudah ada bisa dipaksakan dalam tand kutip agar setia kabupaten yang ada harus ajarkan bahasa daerah, selama ini tidak jalan karena tak ada payung hukum, jadi harus ada regulasi, biar eksis. Memang ada UU Otsus yang melindungi bahasa daerah tapi penerapannya ini yang penting,” ujarnya lagi.

Sementara bahasa daerah di Papua yang masih terjaga disampaikannya  diantaranya Bahasa Biak, Bahasa Dani dan Bahasa Mee.

Bahasa tersebut tetap terjaga karena penuturnya yang masih banyak. **

banner 336x280