Oleh: Nethy DS |
Papuainside.com, Jayapura—Banyaknya kritikan yang ditujukan kepada tim 61 setelah bertemu Presiden Jokowi di Istana 10 September 2019 lalu, ditanggapi Pdt Albert Yoku, STh Ketua Tim 61.
Menurutnya hadirnya 61 tokoh di Istana atas undangan Presiden Jokowi dan itu merupakan hak prerogatif Presiden bukan atas insiatif atau karena kepentingan pribadi tokoh-tokoh yang hadir.
“Hak prerogatif Presiden untuk mengundang siapa saja ke Istana Negara, sehingga bagi tokoh yang belum diundang oleh Bapak Presiden semoga ada kesempatan lain untuk bertatap muka dan menyampaikan aspirasi murni masyarakat Papua,“ ujar Pdt Albert Yoku, STh kepada wartawan, Jumat (20/9) sore ditemani Ondofolo Waena Kampung Ramses Ohee dan Ketua Umum DPN Pemuda Adat Papua Kristian Arebo dan Kepala Suku Besar Griminawa Martinus Maware.
Dikatakan dari 61 tokoh yang diundang tersebut tidak ada yang saling tahu sebelum bertemu di Jakarta. ‘’Kami tidak tahu siapa-siapa yang diundang, kami baru tahu saat pertemuan tanggal 8 September 2019 di Lantai 4 di ruang pertemuan Sari Pasifik Hotel Jakarta. Inikan seperti kami diundang acara pesta nikah dan yang mengundang terserah kepada yang punya acara. Jadi wajar-wajar saja saat kami diundang,” ujarnya.
Ditegaskannya, ada 9 point yang disampaikan untuk kepentingan masyarakat Papua, bahkan dari 9 usulan tersebut delapan langsung direspon dan hanya satu yang belum dijawab. “Hanya satu poin yang tak direstui presiden, yakni revisi Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus). Menurut lingkaran presiden, itu dbahas secara khusus bersama pemerintah Papua dan Papua Barat, karena banyak hal yang diungkapkan,” jelas Albert.
Presiden, kata Pdt Yoku, peduli dan mengerti kebutuhan masyarakat Papua sehingga akan terus membangun Papua tidak hanya infrastruktur, namun berusaha keras agar SDM di Papua terus maju sehingga kesejahteraan dapat dinikmati bagi seluruh lapisan masyarakat asli Papua.
Ungkap dia, tanggal 9 September 2019 dilakukan grup diskusi yang di pandu oleh lbu Dr Adriana Elisabeth dari Lembaga limu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekaligus Jaringan Damai Papua (JDP).
Ada 4 hal pokok yang didiskusikan yaitu sejarah dan status polotik integrasi Papua ke Indonesia (Pepera). Kekerasan dan pelanggaran HAM sejak 1965, diskriminasi dan marjianalisasi OAP ditanahnya sendiri dan kegagalan pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, infrastruktur dan fasilitas telekomunikasi
“Hal-hal lain yang menjadi isu-isu adalah terjadinya konflik Papua dan non Papua, perubahan demografi, penguasaan akses ekonomi oleh non Papua, ketertinggalan SDM dari Data IPM terakhir,” ujarnya.
Setelah disikusi disepakati menunjuk ondofolo Abisai Rollo tokoh adat yang juga Ketua DPR Kota Jayapura untuk membacakan hasinya.
9 usulan yang dibacakan di depan Presiden:
- Pemekaran 5 provinsi di wilayah Papua dan Papua Barat
- Pembentukan Badan Nasional Urusan Papua.
- Penempatan pejabat eselon II dan II di Kementrian dan Lembaga Nasional
- Pembangunan asrama nusantara untuk pelajar di seluruh kota studi, diwarisi dan diberi jaminan keselamatan.
- Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus dalam Prolegnas 2020.
- Menerbitkan Inpres untuk pengangkatan di Provinsi Papua
- Percepatan Palapa ring timur Indonesia.
- Pembentukan lembaga adat, anak dan perempuan Papua
- Membangun istana Presiden di Papua Propinsi Papua Kota Jayapura. **