Natal: Menjadi Bangau Perdamaian Bukan Elang Permusuhan Tanah Papua

Peter Tukan (istimewa)
banner 468x60

Oleh: Peter Tukan*

SETIAP tahun, umat Kristiani di seluruh dunia — termasuk Tanah Papua,  merayakan Natal yaitu, perayaan iman akan kelahiran Yesus Kristus Sang Juru Selamat Dunia; sedangkan  umat beragama bukan Kristen, ikut bergembira bersama saudara-saudaranya yang merayakan pesta iman itu.

banner 336x280

Salah satu tradisi tahunan dalam Gereja Katolik adalah pada menjelang perayaan Natal, para pemimpin gereja di setiap  keuskupan mengirimkan “Surat Gembala” (Nota Pastoral)  kepada umat yang dipimpinnya dengan tujuan mempersiapkan batin umat untuk merayakan   kelahiran Yesus Kristus.  Tema pesan persiapan Natal,  tentu saja disesuaikan dengan situasi dan kondisi hidup  umat dan masyarakat setempat.

Pemimpin umat Katolik Keuskupan Jayapura, Uskup Leo Laba Ladjar,OFM pada beberapa pekan sebelum perayaan puncak Natal 25 Desember, telah menyampaikan pesan kegembalaan kepada umat di wilayah Keuskupan Jayapura, Papua. Tema pokok pesan persiapan Natal tahun ini adalah  “Dia Menjadi Saudara Kita, Agar Kita Menjadi Saudara Bagi Yang lain”.

“Kita masuk dalam sukacita Natal dengan nyanyian malaikat-malaikat: Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi, dan Damai-Sejahtera di bumi di antara manusia yang padanya Allah berkenan,” kata Uskup Leo.

Lebih lanjut Uskup Leo mengatakan,  kelahiran Yesus Kristus adalah peristiwa terpasangnya jembatan emas yang menghubungkan Allah dan manusia, dan merubuhkan tembok perseteruan antar-manusia, antara suku dan bangsa.

“Karena itu, kita merayakan Natal dengan berbagai ungkapan sukacita. Sukacita sejati   harus diiringi dengan usaha kita untuk membangun Damai dan Persaudaraan dengan sesama manusia dan dengan semua makhluk Tuhan,” kata Uskup Leo Laba Ladjar,OFM.

Menurut Uskup Leo, pada  tahun 2019 ini,  masyarakat di Tanah Papua mengalami berbagai peristiwa tingkat daerah maupun nasional yang tidak membawa-serta sukacita tetapi menggoyahkan damai-sejahtera. Kita menyaksikan dalam berbagai kejadian betapa damai begitu rapuh.

“Kekerasan fisik terhadap manusia dan harta miliknya menciptakan ketakutan, kecemasan dan saling curiga dalam masyarakat. Sikap serta perlakuan diskriminatif dan ujaran yang merendahkan martabat seseorang mencederai damai dan melahirkan berbagai aksi konflik dan permusuhan. Dalam suasana itu,  kita menyambut dan merayakan Natal,” kata Uskup Leo Laba Ladjar,OFM.

Damai yang rapuh

Realitas di Tanah Papua  membenarkan apa yang disampaikan Uskup Leo yaitu pada hari ini, masyarakat Papua sedang berada di dalam suasana damai yang rapuh! Kehidupan mayoritas masyarakat di Tanah Papua  diwarnai suasana keprihatinan yang mendalam: aneka krisis, konflik dan kekerasan, serta kecemasan akan masa depan. Ada pengalaman dalam diri masyarakat Papua akan hilangnya Roh yang mempersatukan; Roh yang memberikan kekuatan; Roh yang menghidupkan Papua.

Sebaliknya, sepertinya bertumbuh subur roh lain: roh yang memecah-belahkan; roh yang menimbulkan perpecahan dan permusuhan antara satu dengan yang lain.

Sebagai akibat dari semuanya ini, maka sedang bertumbuh budaya baru yaitu “budaya kekerasan” dan “budaya kematian”, yang menyebabkan Citra Allah dalam diri manusia dan alam lingkungan masyarakat Papua dirusakkan. Siapa yang merusakkannya?  Tanyakan pada rumput yang bergoyang!

Di tengah keprihatinan yang mendalam ini, kita merayakan Natal: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi antara manusia yang berkenan kepadaNya” (Luk 2: 10-13).

Damai yang ditawarkan Yesus Kristus adalah suatu kepenuhan hidup dalam segala dimensinya, sebab Ia sendiri berkata:”Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya di dalam kepenuhan” (Yoh10:10). Damai yang sejati adalah hidup dalam relasi yang harmonis dengan diri sendiri, sesama, alam sekitar dan Tuhan Sang Pencipta- Sumber Kedamaian itu sendiri.Maka, selama tidak ada keadilan dan cinta kasih di Tanah Papua, selama itu pun perdamaian sejati tidak akan mungkin bertumbuh subur  di tengah kehidupan kita.  Yang ada justru sebaliknya, yaitu perselisihan, kebencian, pertikaian, saling membunuh, saling curiga, saling mempersalahkan, membenarkan diri, merasa diri tidak bersalah,  kebinasaan dan kematian.

Natal – perayaan iman akan kelahiran Yesus Kristus Sang Juru Selamat Dunia  harus dapat membangun tekad baru di dalam diri kita untuk menemukan Roh yang telah hilang: Roh kesatuan sebagai satu masyarakat di Tanah Papua, Roh saling menghargai sebagai sesama saudara-saudari, Roh saling berbelarasa dan bersolider dengan sesama, khususnya mereka yang kecil,terpinggirkan dan menderita. Roh yang mampu melihat ke dalam diri sendiri sebelum cepat-cepat menuding dan mempersalahkan orang lain!

Kita bertekad, melalui perayaan Natal, kita dimampukan untuk membasmi “budaya kematian” dengan  menumbuhkembangkan “budaya Kasih”. Kita diharapkan dapat menjadi “duta-duta perdamaian” untuk pergi menyebarkan benih-benih damai sejati. Kita diharapkan menjadi utusan dan saksi-saksi kebenaran bahwa Allah telah mendamaikan semua orang di dalam Yesus Kristus dan bahwa kita harus hidup bersatu sebagai saudara-saudari, sebagai sahabat bagi orang lain!

Bangau Perdamaian

Sebuah ceritera dari negeri Sakura, Jepang tentang “Bangau-Bangau Perdamaian”.

Adalah seorang gadis Jepang berusia 11 tahun, bernama Sadako Sasaki dari kota Hirosima yang membuat seribu ekor burung bangau dari kertas. Sadako Sasaki adalah salah seorang korban bom atom yang dijatuhkan di kotanya pada waktu perang dunia kedua. Ketika itu, dia berusia dua tahun. Ia menderita leukemia akibat radiasi bom di kota Hirosima.  Sewaktu berusia 11 tahun dan duduk di kelas V SD, teman-temannya menceriterakan kepadanya bahwa menurut sebuah legenda Jepang, kalau seorang sedang sakit dan mampu membuat seribu ekor burung  bangau  dari kertas dan meletakkannya di kamar, maka hidupnya akan bertahan lama. Sadako pun menuruti usulan teman-temannya. Namun, sayang bahwa dia meninggal dunia sebelum selesai membuat  seribu ekor bangau. Pada burung bangau terakhir yang dibuatnya sebelum dia menghembuskan nafasnya yang terakhir, dia menulis kata “Perdamaian” pada kedua sayap burung kertas itu dan meminta untuk menerbangkannya ke seluruh dunia untuk membawa “Perdamaian” dimana-mana. Setiap tahun, anak-anak Jepang menggambar seribu ekor bangau, menuliskan data “Perdamaian” dan menerbangkan ke seluruh dunia dari monument Sadako, untuk mengenangnya sebagai “Si Bangau Perdamaian Cilik” dari Jepang.

Dunia khususnya Tanah Papua yang kita diami akan mengalami kedamaian dalam segala dimensinya, apabila setiap kita yang hidup di Tanah Papua dan di luar Tanah Papua menjadi Bangau-Bangau Perdamaian”, sebaliknya, bukan “Elah-Elang Permusuhan”.

Selamat Natal 25 Desember 2019 – Pax In Terra Hominibus!

*Peter Tukan: Wartawan aktif (1983-2010)

 

 

 

banner 336x280