Oleh: Yan Christian Warinussy*)
Sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, saya menyampaikan rasa duka cita yang dalam atas wafatnya Bapak Saul Jenu.
Almarhum tercatat dalam dokumen Keputusan Sidang Dewan Musjawarah Penentuan Pendapat Rakjat Daerah Kabupaten Manokwari tanpa nomor, tertanggal 29 Juli 1969. Almarhum Saul Jenu berada pada anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) nomor urut 68 dari 75 wakil yang hadir dan menyatakan pendapatnya di Gedung Wilhelmina (bekas Gedung Pepera) yang sudah dibongkar dan dibangun Gedung DPR Papua Barat yang baru saja terbakar pada aksi tolak rasisme 19 Agustus 2019 lalu.
Sebagian besar dari mantan anggota DMP di Manokwari 1969 tersebut sudah wafat. Menyusul almarhum Jenu, berdasarkan data LP3BH masih ada sekitar 3 (tiga) orang lain yang masih ada, yaitu Amos Worisio, Ny.Jacomina Momogin dan Ny.Maria Latuheru-Betay. Pelaksanaan Pepera 14 Juli sampai dengan 2 Agustus 1969 di 8 (delapan) kota di Tanah Papua sesungguhnya telah menuai protes dari mayoritas rakyat Papua.
Puncaknya pada Kongres Papua II 29 Mei-4 Juli 2000 di Jayapura. Sehingga lahir manifesto tentang pelurusan sejarah Papua, yang kemudian menjadi nuansa penting dalam penyusunan rancangan UU tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Sehingga di dalam konsideran huruf r dari UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua tersirat mengenai fakta bahwa rakyat Papua dan tanah Papua memiliki sejarah sendiri. Juga dalam konteks integrasi negeri Papua ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Itulah sebabnya di dalam amanat pasal 46 UU RI No.21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua diatur mengenai agenda klarifikasi sejarah Papua (integrasi) yang akaj dikerjakan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pembentukan KKR dapat dilakukan oleh pemerintah dengan Keputusan Presiden (Keppres).
Andil dari almarhum Bapak Saul Jenu dan rekan-rekannya yang sudah mendahuluinya maupun yang masih ada adalah penting dan harus diabadikan dalam konteks sejarah peradaban politik rakyat Papua. Keberadaan para anggota DMP ketika itu (1969) tentu berada pada situasi yang “cukup sulit”, kendatipun mayoritas saudara-saudaranya sendiri menolak tindakan pilihan bebas (act of free choice) tersebut.
Ini hendaknya diletakkan dalam sebuah kajian ilmiah dan hukum yang tidak semata-mata mencari jawaban soal benar salah. Tapi penting untuk mengungkap fakta dan kebenaran demi membangun masa depan bangsa dan negeri Papua yang damai dan sejahtera sebagai dinubuatjan oleh Domine Isaac Samuel Kijne bahwa sekalipun ada banyak orang pandai datang ke Tanah Papua, tetapi orang Papua sendiri kelak akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.
*) Advokat Hak Asasi Manusia (HAM), Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, mantan jurnalis Surat Kabar Harian (SKH) Cenderawasih Pos.