Oleh: Faisal Narwawan |
PAPUAinside.com,JAYAPURA – Perdasus nomor 9 tahun 2019 tentang tata cara pengisian keanggotaan DPRP yang ditetapkan melalui mekanisme pengangkatan 14 kursi periode 2019-2024 diajukan uji materinya kepada Mahkamah Agung.
Hal ini dilakukan sejumlah warga Kabupaten Mamberamo Raya dan Kepulauan Yapen.
Yang Christian Arebo, SH, MH selaku kuasa hukum dari warga tersebut mengatakan, pengajuan uji materi itu sudah didaftarkan ke Mahkamah Agung (MA) pada Selasa (18/2/2020) di Jakarta.
“Bersama kedua rekan saya, Achmad Syahrul SH, MH dan Muhammad Romadona, kami ajukan pendaftaran di MA terkait masalah ini sebagaimana permintaan klien kami,” katanya dalam siaran pers yang diterima wartawan.
Menurut dia, persoalan ini harus diajukan ke MA yang berpijak kepada pasal 24 a ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU, terhadap UU dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan UU.
Hal ini yang menjadi dasar pihaknya untuk menguji materi terhadap Perdasus Nomor 9 tahun 2019.
Pengajuan uji materi tersebut dilakukan karena pihaknya keberatan terkait perbedaan Perdasus Nomor 6 tahun 2014 sebagaimana dirubah Perdasus nomor 7 tahun 2016, yang disebutkan sangat berbeda dengan Perdasus nomor 9 tahun 2019.
Pada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) jalur pengangkatan periode lalu menggunakan acuan Perdasus nomor 6 tahun 2014, namun pada seleksi anggota DPRP jalur pengangkatan periode 2019-2024 mengacu pada Perdasus nomor 9 tahun 2019, sehingga ada sejumlah perbedaan.
Perbedaan yang ditemukan diantaranya soal panitia seleksi (pansel) daerah pengangkatan (dapeng) pada kabupaten/kota yang dalam seleksi pengisian anggota DPRP melalui mekanisme pengangkatan.
Dalam Perdasus nomor 9 tahun 2019 yang digunakan sebagai acuan terbaru, pansel ditingkat dapeng tidak ada, tapi yang berlaku adalah pansel tingkat provinsi.
“Bagaimana mau angkat anggota DPRP melalui pansel provinsi, orangnya didaerah, ini bisa rancu dan bagaimana mengawasinya,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan pansel tersebut dibentuk oleh gubernur bukan lagi dibuat oleh panitia khusus atau panitia kerja ataupun kelompok kerja di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Tentu keterlibatan unsur pemerintah dalam pansel tingkat provinsi yakni para ASN dari Kesbangpol Provinsi Papua yang diikutkan.
“Bagaimana bisa Kesbangpol yang notabene adalah ASN dibawah kendali gubernur, itu dilibatkan dalam pembentukan pansel provinsi. Ini namanya pansel tidak independen, padahal nantinya mereka diawasi oleh DPRP terpilih dengan mekanisme pengangkatan,” ungkapnya.
Hal lainnya disebutkan Yan adalah terjadi perubahan dapeng khususnya wilayah adat Saireri, yang semula itu berdasar pada Perdasus nomor 6 tahun 2014 sebagaimana dirubah Perdasus nomor 7 tahun 2016 itu meliputi Kabupaten Mamberamo Raya, Waropen, Kepualauan Yapen, Biak Numfor dan Supiori.
Tapi dalam Perdasus nomor 9 tahun 2019, wilayah adat Saireri ini berubah, tanpa Kabupaten Mamberamo Raya yang kemudian dimasukan dalam wilayah adat Mamta.
“Dari sini landasan hukum memindahkan Mamberamo Raya ke Mamta itu apa? Harus dibuktikan, begitu. Perubahan ini juga mengakibatkan jumlah pengangkatan anggota DPRP yang tadinya untuk wilayah adat Saireri berjumlah tiga kursi, kini menjadi dua kursi. Karena satunya berpindah ke Mamta,” kata Yan yang merupakan Ketua Pemuda Adat Papua. **