Kisah Filep Karma, Aktivis Kemerdekaan Papua Jualan Buku di Saga Mall Abe

Aktivis Kemerdekaan Papua, Filep Karma, saat berjualan buku di Saga Mall, Abepura, Kota Jayapura. (Foto: Makawaru da Cunha/Papuainside.com)
banner 468x60

Oleh: Makawaru da Cunha  I

PAPUAinside.com, JAYAPURA—Aktivis Kemerdekaan Papua, Filep Jacob Semuel Karma, yang lebih dikenal dengan Filep Karma, kini mengisi waktu senggangnya untuk kegiatan amal, pasca pensiun dari Aparat Sipil Negara (ASN) di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua sejak tahun 2017 lalu.

banner 336x280

Satu diantaranya berjualan buku-buku tentang sejarah Papua.  Filep Karma saban hari berdiri menjajakan buku-bukunya di Saga Mall, Abepura, Kota Jayapura.

Sore itu, Filep Karma mengenakan baju lengan panjang, blue jeans, topi dan tas noken, sambari menenteng buku, untuk ditawarkan ke pengunjung.

Beruntung Papuainside.com bisa menemui dan mewawancarai Filep Kerma di Saga Mall Abepura, Jumat (8/4/2022).

Filep Karma mengisahkan, ia  mulai kariernya sebagai ASN sejak tahun  1989 di  Badan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Irian Jaya, yang kini berubah nama menjadi  Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Pemprov Papua hingga pensiun tahun 2017.

Lantaran dinilai berprestasi  dan punya kemauan kuat untuk berkembang,  Filep Karma dikirim Pemda Provinsi Irian Jaya, untuk studi pada Development Program atau Manajemen Pembagunan di  The Asian Institute of Management (AIM) di Makati, Metro Manila, Filipina tahun 1997.

Filep Karma tinggal dan studi selama 11 bulan di Negeri mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos.

Filep Karma adalah Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, sejak  1979 dan diwisuda pada 1987.

Kibarkan Bendera Bintang Pagi

Filep Karma mengisahkan ia mempunyai cita-cita menjadi pejuang kemerdekaan Papua sejak bocah.

“Cita-cita menjadi pejuang kemerdekaan Papua memang sejak SD sudah tertanam di hati saya,” katanya.

Kemudian setelah mantan Presiden Soeharto dilengserkan, saat reformasi disitulah Filep Karma mulai tampil memimpin aksi pengibaran Bendera Papua Barat Bintang Pagi atau Morning Star Flag di Biak 1998.

Filep Karma pun menyampaikan alasan mengibarkan bendera Bintang Pagi, sebenarnya Papua Barat adalah sebuah bangsa yang sudah merdeka, tapi dianeksasi atau pencaplokan oleh pemerintah Indonesia melalui Perjanjian New York atau New York Agreement yang diprakarai Amerika Serikat pada tahun 1962.

Filep Karma mengatakan, New York Agreement seharusnya membicarakan tentang masa depan Papua Baratdengan melibatkan bangsa-bangsa Papua Barat, karena pada waktu itu Papua Barat sudah mempunyai Parlemen Nasional sendiri.

Menurut Filep Karma, saat mengibarkan Bendera Bintang Pagi langsung dibubarkan oleh TNI.  Kemudian ia dipenjarakan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Biak.

Filep Karma akhirnya divonis hukuman penjara selama 6,5 tahun dengan tuduhan makar.

Filep Karma mengajukan banding kemudian kasasi. Pada saat kasasi belum turun, mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur membebaskannya dengan abolisi atau pembatalan perkara. Filep Karma dinyatakan belum pernah berbuat.

Bebas dari Lapas Biak, Filep Karma kembali mengibaran Bendera Bintang Pagi di Kota Jayapura, 1 Desember 2004.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura memvonisnya dengan hukuman penjara 15 tahun.

“Majelis Hakim sudah tak jujur atau tak adil dia katakan ini perbuatan berulang, padahal dengan abolisi berarti saya dinyatakan belum pernah berbuat. Majelis Hakim mengatakan tidak bahwa ini perbuatan berulang,” tuturnya.

Namun, lantaran adanya tekanan dari dunia internasional, maka Filep Karma dikeluarkan paksa dari Lapas Abe pada 19 November 2016.

Saat menjalankan hukuman di Lapas Abe, ujarnya, ia menderita sakit dan dua kali pergi berobat ke Jakarta. Kemudian balik lagi ke Lapas Abe hingga masa hukumannya habis.

Memperjuangkan Hak-hak Asasi Rakyat Papua

Apakah tak melanggar sumpah janji ASN, ketika Filep Karma justru berjuang untuk kemerdekaan Papua Barat, tuturnya, dari kacamata mana kita melihatnya? Kalau dari  Pemerintah RI, mungkin melanggar. Tapi dari kacamata rakyat Papua, Filep Karma  tak melanggar, karena ASN adalah abdi masyarakat atau pelayan masyarakat.

Dan ia melayani masyarakat dengan memunculkan aspirasi rakyat Papua secara terang benderang, memperjuangkan hak-hak asasi rakyat Papua.

“Saya bekerja pada pemerintah Indonesia bukan maunya saya, tapi  Indonesia memaksa kami jadi WNI,” tukasnya.

“Kami tak mau, tapi kami dipaksa jadi WNI. Sedangkan dalam Kovenan HAM PBB setiap orang mempunyai hak untuk mendapat pekerjaan serta penghasilan yang layak bagi kehidupannya,” tukasnya lagi.

Apakah Filep Karma masih terus memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat hingga kini, jelasnya, kalau sebelumnya ia terjun di depan membuat surat ke aparat keamanan, untuk aksi demo dan sebagainya dan bertanggungjawab. Maka kini Filep Karma lebih banyak berjuang dari belakang layar.

“Saya lihat sudah banyak anak-anak muda, yang berperan. Jadi saya ibarat pepatah orang Jawa  ing madyo mbangun karso. Artinya seseorang di tengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan semangat atau menggugah semangat,” terangnya.

Filep Karma menjelaskan, buku-buku yang dijualnya ia  dapat langsung dari penulisnya, karena buku- buku tentang Papua ini pernah dijual di pelbagai toko buku, tapi disita pihak aparat dan dimusnahkan.

“Kami mau buah pikiran kami harus dibaca orang bukan kami tulis buku untuk dimusnahkan. Jadi misalnya kalau ada orang yang borong semuanya, maka  saya tak kasih. Dia boleh beli satu saja,” ujarnya.

Menurutnya, buku-buku yang dijualnya berisi penderitaan rakyat Papua, perlakuan ketidakadilan pemerintah dan militer yang rasis, perlakukan orang Non Papua yang rasis terhadap orang Papua.

“Itu yang kami jual, kami ceritakan dan ini sebuah kenyataan tentang sejarah bangsa Papua Barat,” ucapnya.

Filep Karma mengaku berjualan buku sejak tahun 2019 lalu. Sebelumnya ia berjualan buku door to door dari kantor ke kantor.

“Saya ingin generasi muda memahami sejarah perjuangan Papua, sejarah  penderitaan orang Papua,” katanya.

Buku-buku ini juga bukan hanya untuk orang Papua saja, tapi juga untuk teman-teman Non Papua mereka membaca sebuah kebenaran sejarah, karena selama ini mereka di luar Papua mendapat informasi dari satu sumber yakni pemerintah, yang lebih banyak ketidakbenaran atau hoax. Makanya pemerintah tak mau menyebarkan buku-buku ini.

“Jadi kami juga tak mau membuat hoax. Kami mengcounter informasi-informasi pemerintah yang bersifat hoax. Itu ada dalam buku-buku ini,” tandasnya.

“Jadi saya disini pasang badan seandainya menjual buku ini saya ditangkap, maka saya siap saja gitu,” ucapnya.

Filep Karma menuturkan, hasil dari menjual buku ini ia gunakan kadang-kadang untuk membantu rekan-rekan seperjuangan, seperti Victor Yeimo dan lain-lain yang kini berada dalam tahanan, kalau ia berkunjung kesana.

“Saya kasih untuk merekalah nanti terserah mereka mau pakai untuk apa,” ungkapnya.

Filep Karma juga menggunakan hasil menjual buku, untuk biaya operasionalnya sehari-hari dan juga ia kembalikan kepada penulis buku, karena penulis punya jasa yang juga harus dihargai.

“Saya berusaha menjual buku setiap hari, kalau tak hujan bukan hanya di Saga Mall Abepura, tapi ia mobile juga misalnya dimana ada yang telpon ia bersedia antarkan,” tambahnya.

Filep Karma mengatakan, buku-buku yang dijualnya merupakan buku-buku sisa dari tahun lalu. Saban hari ia berangkat dari rumahnya membawa sekitar 20- 30 buku.

“Kadang-kadang laku 10 buku, bahkan 20 buku sehari. Tapi  fluktuatif,” pungkasnya.  **      

 

banner 336x280