Oleh: Nethy DS|
Papuainside.com, Jayapura– “Merasa Bersyukur sebagai Internasional student dari Papua-Indonesia yang mendapatkan kesempatan menjadi Duta Australia pada Collaborative Study di Afrika”. Tulisan yang mengawali cerita Berlinda Ursula Mayor melalui email yang dikirim ke Papuainside.com.
Linda panggilan akrabnya adalah Hakim Pengadilan Negeri Manado dan mendapat tugas belajar dari Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan bea siswa dari Pemerintah Provinsi Papua dan saat ini menjadi mahasiswa pasca sarjana di University of Western Australia dengan jurusan Master of International Relations and Master of International Law.

Linda Mayor adalah pembuat sejarah, karena menjadi hakim perempuan Papua pertama dilantik menjadi Ketua Pengadilan Negeri, yaitu pada 18 November 2013 lalu menjadi Pengadilan Negeri Kelaa II B Wamena di Jayawijaya yang membawahi delapan kabupaten.
Linda mengikuti jejak ayahnya menjadi hakim, almarhum Efraim Mayor adalah orang Papua pertama yang menjadi hakim sekaligus orang Papua pertama yang menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Papua dan Papua Barat.
Pada tanggal 7-16 Juli 2019 Linda bersama 8 mahasiswa asal Australia berada di Benua Afrika mengikuti program Master of International Relations antara tiga university yaitu dari 3 benua yaitu Asia (Universitas Paramadina Jakarta), Afrika (University of Pretoria, South Africa) dan Australia (University of Western Australia), dengan topik kegiatan tahun ini “International Relations in the Indian Ocean Region”.
Mengikuti program ini sekaligus kesempatan bagi Linda mengunjungi tempat tinggal tokoh Afrika yang fenomenal Nelson Mandela.

‘’Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam hidup saya, saya akan mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi benua Afrika. Apalagi mengunjungi tempat tokoh bersejarah yang saya kagumi yaitu Nelson Mandela di South Afrika,’’ tulis Linda.
Peserta kegiatan ini adalah mahasiswa dari program Master of International Relations antara tiga university yaitu dari 3 benua yaitu Asia (Universitas Paramadina Jakarta), Afrika (University of Pretoria, South Africa) dan Australia (University of Western Australia).

Perjalanannya ke Afrika adalah berkat bagi Linda karena semua biaya ditanggung oleh universitas di mana dia belajar. ‘’Yang lebih fantastis lagi yaitu sebagai student saya dapat menjadi duta dua negara sekaligus yaitu Indonesia dan Australia dengan biaya yang di tanggung oleh tempat di mana saya sedang belajar. Boleh dikatakan bagi saya adalah perjalanan gratis yang penuh berkat karena selain dapat mengunjungi benua lain saya juga mendapatkan kesempatan untuk lebih memperdalam ilmu yang sedang saya tekuni dalam kegiatan International Collaborative Study Experience di University of Pretoria, South Africa,’’ tulisnya.
Dituliskan Linda, melalui kegiatan ini dia mendapatkan kesempatan unik untuk mempelajari Hubungan Internasional sambil mempraktikkan hubungan internasional dan untuk membangun pengetahuan dan kompetensi lintas budaya dengan terlibat langsung dalam konteks budaya dan politik yang berbeda.
Program ini merupakan program intensif 10 hari yang melibatkan pengajaran formal, keterlibatan dengan para ahli, diplomat dan praktisi kebijakan lainnya, dan berbagai pengalaman budaya lokal.

Ini adalah tahun ketiga dilakukannya mata kuliah ini dan kegiatan pertama di Afrika Selatan yang sebelumnya diadakana di Jakarta pada 2017 dan 2018. Mata kuliah intensif selama sepuluh hari ini memaparkan beragam perspektif berbeda kepada mahasiswa tentang wilayah Samudera Hindia sambil meneliti isu utama seperti perdagangan, keamanan, persaingan strategis, kerjasama, migrasi, ekonomi biru, perubahan iklim, identitas, pengaturan regional dan mempertimbangkan kepentingan, kapasitas, dan prioritas nasional dan regional yang berbeda. Beberapa sesi difokuskan secara khusus tentang lokasi tuan rumah serta diskusi tentang sejarah Afrika Selatan dan masyarakat, politik, dan kebijakan luar negeri masa kini.
Mata kuliah tahunan ini dirancang bersama dan dipaparkan bersama oleh Dr. David Mickler dan Dr. Nikola Pijovic dari AfREC; Dr. Shiskha Prabawaningtyas dari Paramadina; dan Prof. Maxi Schoeman dari Pretoria; serta diisi dengan beragam presentasi dari akademisi dan pemimpin mahasiswa lain dari Fakultas Sastra Universitas Pretoria.
Mahasiswa juga berinteraksi langsung dengan para pakar dari Institut Studi Keamanan, Institut Refleksi Strategis Mapungubwe, Institut Dialog Global, Angkatan Laut Afrika Selatan, Kamar Bisnis Pertanian, media Afrika Selatan, serta diplomat yang berbasis di Pretoria dan berasal dari Australia, India, Indonesia, dan Departemen Hubungan dan Kerjasama Internasional (DICRO) Afrika Selatan.
Dikatakan, memaparkan mata kuliah tersebut di Pretoria adalah langkah yang tepat karena Afrika Selatan saat ini adalah Ketua Asosiasi Negara Lingkar Samudera Hindia (IORA) dan tujuan utama perjalanan tersebut adalah pertemuan meja bundar dengan Duta Besar Anil Sooklal, ‘Sherpa’ IORA Afrika Selatan dan pakar terkemuka terkait dinamika regional Samudera Hindia.

Dalam kelompok campuran, mahasiswa bekerjasama meneliti dan memaparkan presentasi kelompok di akhir mata kuliah. Topik yang dipilih mencakup kerjasama keamanan maritim, sifat pangkalan militer di wilayah tersebut, ekonomi biru, dan tantangan menghadapi IORA.
Mahasiswa juga melakukan pendalaman budaya melalui kunjungan ke Museum Apartheid (Johannesburg), Soweto, dan Cagar Alam Reitvlei, serta berpartisipasi dalam konferensi internasional paralel yang digelar oleh Universitas Pretoria tentang Paradigma yang Meresahkan: Arah Dekolonial pada Kurikulum Sastra pada Berbagai Universitas di Afrika Selatan. Mahasiswa dan staf menginap di kampus terbaru Universitas Pretoria yaitu Future Africa. **