Dialog Damai Sikapi Gelombang Penolakan Evaluasi Otsus

Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari/Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua. (foto: dok pribadi)

Oleh: Yan Christian Warinussy | Advokat, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari

Sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) saya ingin memberi saran konkrit kepada Presiden Republik Indonesia Ir.H.Joko Widodo untuk segera melakukan pertemuan terbatas dengan Gubernur Papua Lukas Enembe dan Gubernur Papua Barat Drs Dominggus Mandacan.

Pertemuan ini menurut pandangan saya sangat mendesak untuk mempersiapkan Dialog Damai dengan seluruh komponen rakyat Papua di Tanah Papua. Karena gelombang protes dan penolakan terhadap evaluasi maupun kelanjutan kebijakan negara berbentuk Otonomi Khusus yang telah diberlakukan sejak disahkan pada tanggal 21 November 2001 yang lalu.

Dari sisi politik secara faktual harus diakui bawa sejarah panjang Tanah dan Rakyat Papua telah senantiasa mengalami ketidakadilan atau diperlakukan tidak adil dan saat ini Indonesia sebagai negara dan bangsa harus menerima “bola panas” tersebut.

Kenapa demikian? Karena sesungguhnya semenjak dahulu kala rakyat Papua berdasarkan catatan sejarah sosio-anthropologi mereka telah menjadi “penguasa bumi” di tanah airnya dan melakukan pengayauan hingga melewati beberapa Samudera hingga ke kepulauan Madagaskar dan Kepulauan Pasifik Barat Daya.

Bahkan sesungguhnya ada catatan sejarah kalau Orang Papua khususnya suku Byak ikut berperan besar membantu Sultan Tidore dalam perang-perang melawan VOC pada tahun 1649 seperti ditulis oleh antropolog asli Papua : DR.A.Ibrahim Peyon dalam bukunya berjudul : Kolonialisme dan Cahaya Dekolonisasi Di Papua Barat, terbitan Nentuen Focus-Jayapura l, tahun 2010.

Jadi Tanah Papua sesungguhnya tidak pernah ditaklukkan di bawah kekuasaan siapapun, termasuk Kesultanan Tidore atau Majapahit maupun Sriwijaya.  Fakta lain, bahwa ada upaya sistematis sesungguhnya secara politik di dunia antara Amerika Serikat dan Indonesia maupun juga Belanda dalam “menggagalkan” kesempatan bagi rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.

Itu tersirat dalam Buku Bayang Bayang Intervensi, Perang Siasat John F.Kennedy dan Allen Dulles atas Sukarno, karya DR.Greg Pulgrain, terbitan Best Publisher, Yogyakarta, tahun 2017. Dimana pada halaman 231 ditulis : ,…”kematian Michael Rockefeller di pantai selatan Tanah Papua telah diberitakan sebagai kematian yang disebabkan oleh kanibalisme yang menjadi alat politik untuk menyangkal penentuan nasib sendiri.” “Hilangnya Rockefeller junior tersebut dengan cara yang sama tertuhungkus rapat, tertutup kemungkinan adanya penjelasan lain dalam pertemuan media dan dampak politik dari kehilangan itu menjadi tragedi tetap bagi rakyat Papua.”

Di sisi lain, Poulgrain menulis di halaman 235 bukunya bahwa rencana menihilkan kesempatan bagi rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri memang sudah dirancang melawan kehendak orang Papua yang mulai membangun fondasi negara pada tahun 1961. Seorang penasihat tinggi politik Amerika Serikat bernama Komer mengatakan : “Sesuatu harus terjadi. Sebelum tuntutan atas penentuan nasib sendiri akan mengurung kita semua.” Bahkan seorang staf National Security Council (Dewan Keamanan Nasional) Amerika Serikat bernama Robert Johnson menganggap prinsip Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang penentuan nasib sendiri bagi orang Papua sesuai proposal mantan Sekretarus Jenderal (Sekjen) PBB Dag Hammarskjold sebagai penghalang untuk mencapai kesimpukan terbaik bagi kepentingan Amerika Serikat dalam sengketa kedalulatan Indonesia.

Itulah sebabnya, Profesor Sejarah asal Belanda Pieter J.Drooglever melakukan penelitian pula dan menulis dalam laporannya yang dibukukan dengan Judul :  Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri atau dalam Bahasa Belanda : Een Daad Van Vrije Keuze. De Papoea’s Van westelijk Niew-Guinea en de grenzen Van get zelbeschikkingsrecht, terbitan Kanisius, Yogyakarta, tahun 2010.

Oleh sebab itu di dalam konsideran menimbang huruf e dari UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua jelas-jelas diakui akan spesifikasi sejarah Rakyat Papua tersebut. Inilah ruang kontitusi yang menurut pandangan hukum saya perlu dilakukan pendekatan melalui Dialog Damai Papua-Jakarta oleh Presiden Joko Widodo bekerjasama dengan Gubernur Enembe dan Gubernur Mandacan.

Dialog harus dimulai dengan secara jujur negara mengakui kekurangannya dalam penerapan kebijakan otonomi khusus sebagai cantolan politik seperti pernah disebut oleh mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Karena sesungguhnya fakta menunjukkan bahwa Otsus lahir karena adanya tuntutan Papua Merdeka yang disampaikan secara terhormat dan bermartabat oleh representasi rakyat Papua yang disebut Tim 100 pada awal tahun 1999 kepada Presiden Habibie di Istana Negara, Jakarta.

Sehingga kalaupun sesuai amanat pasal 77 dan 78 UU Otsus Papua perlu dilakukan evaluasi, maka rakyat Papua berhak memberi penilaian secara komprehensif mengenai pelaksanaannya selama 20 tahun ini dan jika pada akhirnya ditemukan kesimpulan bahwa Otsus gagal memberi jawaban atas terpenuhinya hak-hak rakyat Papua sebagai dimaksud dalam konsideran menimbang huruf f UU Otsus. Maka adalah berdasar hukum dan sangat konstitusional jika pemenuhan amanat preambul UUD 1945 mengenai kemerdekaan ialah hak segala bangsa dipertimbangkan oleh negara melalui Presiden Joko Widodo untuk dibicarakan lebih lanjut dalam Dialog Papua-Jakarta tersebut. **