Oleh: Ambassador Freddy Numberi *)
Senjata dari Bloc Komunis
Estimasi intelejen Amerika Serikat (AS) pada 7 Maret 1961, mengatakan bahwa: “ Kontribusi negara-negara Bloc Komunis kepada Pemerintah Indonesia mencapai USD 1.103 Juta (seribu seratus tiga juta dollar AS) sebagai kredit. Terdiri USD 593 juta ( lima ratus sembilan puluh tiga juta dollar AS) untuk bantuan militer dan USD 510 juta (lima ratus sepuluh juta dollar AS) untuk bantuan ekonomi. (FRUS, 1961-1963, VOL. XXIII, South East Asia, Washington, March 7, 1961,Doc. 151)
Dengan pengadaan persenjataan militer waktu itu, Angkatan Bersenjata RI (ABRI) betul-betul diperkuat untuk melakukan serangan militer terhadap Belanda di Papua.
Disamping itu dengan keberhasilan politik isolasi yang dibuat oleh Presiden Sukarno terhadap Belanda dan sekutunya, seperti AS, Inggris dan Australia maka dapat dikembangkan saluran diplomasi untuk memaksa Belanda menyerahkan Papua kepada Indonesia.
Insiden 15 Januari 1962
Pada awal bulan Desember 1961, Presiden Sukarno memberitahu Duta Besar AS untuk Indonesia Howard Jones, bahwa dalam waktu dekat akan ada serangan militer terhadap Belanda di Irian Barat (Papua).
Atas dasar pemberitahuan itu, Dubes Jones melaporkan ke Washington dan kemudian Presiden Kennedy mengirim surat kepada Presiden Sukarno tanggal 9 Desember 1961. Surat Kennedy dijawab oleh Bung Karno persurat tanggal 12 Desember 1961. (H. Dr. Subandrio, Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat, Jakarta, 2001:h.50)
Satu minggu kemudian, yaitu tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mencanangkan Komando Trikora untuk pembebasan Irian Barat dengan kekuatan militer.
Komunitas intelejen AS, Inggris, Australia maupun Belanda menganalisis bahwa Indonesia tidak mungkin melakukan serangan muliter ke Papua. Yang mungkin adalah unjuk kekuatan atau sekedar demonstrasi kekuatan militer. (Greg Poulgrain, Bayang-Bayang Intervensi, 2017:h.237)
Dengan gugurnya Komodor Yos Sudarso, 15 Januari 1962 bersama awak MTB (Motor Torpedo Boat) RI Macan Tutul melawan Angkatan Laut Belanda, Fregat Hr. Ms. Evertgen dan Hr. Ms. Kortenaer di laut Aru, sekitar Lakke Hoek selatan Kaimana, maka suasana makin tegang dan emosional serta seluruh rakyat Indonesia menentang penyelesaian melalui perundingan.
Dubes Jones, mengatakan: ”Indonesia tidak hanya menggertak tetapi dengan peristiwa 15 Januari 1962 menandakan bahwa Indonesia siap menghadapi krisis militer (militaire crisis)”. (Dr. J.G.de Beus, Morgen, bij het aanbreken van de dag, Rotterdam 1977:h319-320)
Menteri Luar Negeri (Menlu) Subandrio berangkat menuju AS untuk menemui Menlu AS Dean Rusk dan melaporkan ketegangan yang ada serta juga meminta kepada Dubes Belanda di AS Van Roijen untuk mencari penyelesaian bersama sesegera mungkin.
Pers di Belanda juga menyiarkan agar Belanda segera berunding dengan Indonesia tanpa menitik beratkan pada “zelf beschikkingsrecht” (hak untuk menentukan nasib sendiri) bagi Papua. Akhirnya Belanda bersedia untuk berunding tanpa syarat demikian juga Indonesia.
Pada 18 Maret 1962 Dubes Indonesia di Moskow Adam Malik, ditunjuk oleh Presiden Sukarno mewakili Indonesia dalam berunding dengan Belanda di AS. Pihak Belanda dan Indonesia setuju dengan adanya pihak ketiga sebagai mediator serta menunjuk diplomat senior A.S Bunker sekaligus mewakili Sekjen PBB U Thant.
Delegasi Indonesia terdiri dari Dubes Adam Malik sebagai Ketua, dibantu para diplomat Sujarwo Tjondronegoro, Zairin Zain dan Surjono Tjondro. Sedangkan delegasi Belanda terdiri dari Dubes Jan H. van Roijen, Dubes C.W.A Schuurmann dan diplomat Van Oldenborg.
Perundingan pertama tanggal 20-22 Maret 1962 di Huntland Estate, Negara bagian Virginia AS dapat dikatakan gagal, karena adanya perbedaan pandangan kedua belah pihak. Dengan demikian Elsworth Bunker yakin bahwa kuncinya adalah melibatkan PBB.
Pada tanggal 2 April 1962, Bunker menyampaikan rumusan “Bunker Plan-II” kepada Presiden Kennedy dan meminta Presiden Kennedy untuk meneruskan kepada Presiden Sukarno dan PM. Jan de Quay. Hal ini untuk mengawal rencana Bunker yang kedua ini agar tidak dimentahkan lagi oleh Belanda. Isi naskah Bunker Plan-II, yaitu:
- Pemerintah Belanda menandatangani persetujuan yang diserahkan kepada Sekjen PBB;
- Pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Badan Eksekutif Sementara dibawah Sekjen PBB, kemudian badan ini menyerahkan kepada Indonesia;
- Badan Eksekutif Sementara tahun pertama terdiri dari tenaga teknis non-Indonesia dan non- Belanda, lalu pada tahun kedua diganti oleh tenaga Indonesia didampingi tenaga teknis dari PBB untuk menyiapkan penentuan nasib sendiri;
- Indonesia memberi kesempatan hak menentukan nasib sendiri kepada rakyat Irian Barat tidak lebih dari dua tahun setelah pengalihan kedaulatan di Irian Barat;
- Setelah persetujuan ditandatangani, Belanda dan Indonesia menormalisasi hubungan diplomatiknya. (H. Dr. Subandrio, Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat, Jakarta 2001: h.59-60)
Pada tanggal 2 April 1962 setelah membaca “Bunker Plan-II”, peristiwa insiden 15 Januari 1962 dimana Komodor Yos Sudarso gugur bersama awak RI Macan Tutul meyakinlah Presiden Kennedy bahwa Bung Karno sangat serius untuk merebut Irian Barat dengan segala macam cara. Hal ini juga dibenarkan oleh penasehat militer Kennedy, Robert Komer dan Mc. George Bundy. (FRUS, 1961-1963,vol XXIII, South East Asia, Washington , January 15, 1962, Document 221)
Melihat situasi yang memanas, termasuk gagalnya perundingan Middleburg 20-22 Maret 1962, Presiden Jon F. Kennedy membuat Nota Rahasia kepada Perdana Menteri Belanda Dr.J.E. de Quay tanggal 2 April 1962, yang intinya: “Ini akan menjadi perang dimana Belanda maupun Barat secara akal sehat tidak dapat memenangkannya. Apapun hasil akhir dari pertempuran militer, posisi dunia bebas di Asia secara keseluruhan akan rusak parah. Hanya pihak komunis yang akan mendapat manfaat sebesar-besarnya dari konflik semacam itu.” (Dr. J.G. de Beus, Morgen bij het aanbreken van de dag, Rotterdam 1977: h.408-409)
Dengan adanya informasi intelejen bahwa Kapal Selam milik Rusia yang diperbantukan kepada Pemerintah Indonesia telah digelar di utara Irian Barat sejumlah 5(lima) kapal tipe S-236 dan bantuan personil dari Rusia sejumlah 3000 orang dibawah pimpinan Laksamana Madya Tsjernobajs serta rencana penyerangan antara tanggal 02 Agustus 1962 atau 15 Agustus 1962. Akhirnya Belanda dan Indonesia menandatangani perjanjian New York pada tanggal 15 Agustus 1969 dimediasi oleh Elsworth Bunker dan disaksikan oleh Sekjen PBB U Thant. (Bart Rijs, Volkskrant 10 Februari 1999)
Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1962, setelah New York Agreement, Presiden Sukarno menyatakan bahwa Operasi Trikora dihentikan.
Jakarta, 20 Oktober 2021
*) Founder Numberi Centre