Oleh: Nethy DS |
Papuainside.com, Jayapura – Festival Film Papua- III yang saat ini berlangsung di Kota Sorong Papua Barat memilih 10 film terbaik karya sineas-sineas muda Papua yang akan dipilih menjadi yang terbaik.
Ke 10 film pilihan FFP-III tersebut adalah “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, Wamena, Cristian G. Tigor Kogoya, “Perempuan di Tanahnya”, Keerom, Kristina Soge, Dion Kafudji, ‘’30 Tahun Su Lewat”, Keerom, Lidya Monaliza Upuya, “Keadilan di Tanah Sendiri”, Wamena, Nelson Lokobal, “Menembus Batas”, Jayapura, Naomy Wenda, “Daerah Hilang”, Timika, Helena Kobogau, “Moinyayo Hekhe Mokhonate”, Sentani, Alberth Yomo, “Sasi Ibu-ibu Kampung Kapatcol Misool Barat”, Raja Ampat, Wawan Mangile, “Mre Wenteh”, Jayapura, Nelius Wenda, “Agmai”, Sorong, Agus Kalalu.
Semua film yang ditampilkan dalam festival ini berkisah tentang perempuan dari berbagai wilayah di Papua, karena teman FFP-III Papua Perempuan Penjaga Tanah Papua.
Dalam release yang diterima Papuainside.com, 10 film pilihan FFP-III tersebut dibagi dalam tiga tema, yaitu perempuan dan kebudayaan, perempuan dan perannya dalam pembangunan, serta perempuan dan lingkungan hidup.
Mengapa memilih tema dengan latar belakang kehidupan perempuan. Perempuan Papua dalam kebudayaannya ditempatkan dalam posisi yang baik, seperti beberapa suku yang menyimbolkannya dengan pohon sagu, sumber kehidupan.
Namun dalam kehidupan sehari-hari, perempuan lebih sulit mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki, misalnya dalam memilih antara bersekolah atau menikah atau berkegiatan di luar rumah selain bekerja di kebun atau membantu keluarga.
Kekangan dari adat melalui aturan keluarga juga masih kita temui di tengah masyarakat yang menganggap mas kawin sebagai tanda telah membeli seorang perempuan.
Kekerasan yang dialami karena seseorang adalah perempuan atau terdiskriminasi karena jenis kelaminnya, terjadi di ruang domestik maupun publik, oleh keluarga, lingkungan sosial, maupun pemerintah. Karena itulah, Orang Papua perlu terus menyuarakan narasi keadilan ekonomi, keseimbangan peran dalam keluarga, dan kesetaraan pemenuhan hak untuk kemajuan Perempuan Papua. Menghadirkan sosok perempuan dengan menyoroti diskriminasi, khususnya saat mengangkat pengabaian dan belum meratanya pelayanan publik, adalah kerja nyata yang tidak bisa dilakukan sekali waktu atau untuk mendukung agenda politik praktis saja.
‘’Narasi Mama-mama Papua yang memperjuangkan kemandirian dengan berorganisasi dan berkelompok, adalah simbol perlawanan masa kini. Perempuan yang memperjuangkan keadilan akan berpikir dan bertindak lebih dari sekadar mencari kedudukan dan kekayaan,’’ seperti yang ditulis Max Binur dalam release.
FFP-III ini selain untuk memilih film terbaik, kegiatan ini juga diisi dengan workshop dan pemutaran film. 10 film terbaik tesebut dinilai oleh Empat Juri Festival Film Papua ke-III, Melania Kirihio, Lisabona Rahman, Arul Prakkash dan Wensi Fatubun.
FFP-III berlangsung 6-9 Agustus 2019 dipusatkan di Gedung Keik LMA Malamoi Sorong Papua Barat dan merupakan agenda tahunan Papuan Voices.
Papuan Voices adalah Komunitas Filmmaker Papua yang fokus memproduksi dokumenter berdurasi pendek tentang Manusia dan Tanah Papua. Filmmaker Papua hendak menyampaikan pesan-pesan kepada seluruh lapisan komunitas masyarakat di Tanah Papua, Indonesia dan Internasional untuk melihat Papua melalui “mata” orang Papua sendiri dalam bentuk film dokumenter. ***